Oleh Saifuddin A. Rasyid
(Akademisi UIN Ar-Raniry)
Al-Rasyid.id • Momentum seperempat abad syahid Prof Safwan Idris diperingati UIN Ar-Raniry Banda Aceh pada Selasa 16 September 2025. Acara haul seperempat abad itu dilaksanakan serangkaian dengan shalat subuh berjamaah di masjid Fathun Qarib komleks UIN Ar-Raniry.
Agenda yang berlangsung khidmat itu dihadiri oleh Rektor UIN Ar-Raniry, para wakil rektor, kepala biro, para dekan dan segenap unsur pimpinan, representasi para dosen dan tenaga kependidikan PTKIN terkemuka yang terletak di ujung pulau sumatera tersebut. Keluarga almarhum Safwan Idris turut hadir membersamai.
Shalat subuh, zikir dan do’a bersama dipimpin oleh ust Jamhuri Ramli, pimpinan Zawiyah Nurun Nabi. Dengan gaya irama dan kelembutan suara ustaz Jamhuri menjadikan zikir dan doa bersama itu berlangsung sangat khidmat. Kiranya itu menjadi amal shalih jamaah haul yang hadir dan Allah catatkan kebaikan dan kemaslahatan untuk almarhum Safwan Idris dalam ridhaNya.
Prof Azman Ismail, mantan imam besar Mesjid Raya Baiturrahman Aceh, yang hadir bersama Bunda Tasnim Idris isteri beliau, mewakili kelurga almarhum menyampaikan rasa haru keluarga dan terimakasih kepada pimpinan UIN Ar-Raniry yang telah mengambil waktu secara khusus untuk mengenang almarhum Safwan Idris. Prof Azman, yang merupakan adik ipar dari almarhum tak sanggup berkata panjang dalam kesempatan itu.
Tetapi hadirin mafhum betapa dukungan dan keikutsertaan keluarga almarhum, yang berada di tempat tampak hadir semua, membuat acara ini sangat berkualitas. Termasuk hadir Prof Safrul Muluk menantu almarhum kesayangan keluarga dan isteri Hajjah Sari Safwan ikut larut dalam ikir dan doa bersama itu. Dr. Suhrawardi, ponakan almarhm, ahli ilmu falak USK juga hadir.
Ibu Alawiyah, isteri almarhum yang sedang berada di Australia dan Iban Salda putera almarhum yang sedang berada di Qatar keduanya tidak dapat hadir secara langsung, tetapi mengukuti jalannya acara haul seperempat abad itu melalui channel youtube UIN Ar-Raniry yang disiarkan dan direkam secara langsung. Ibu Alawiyah dan keluarga berterimakasih dan menitip salam kepada segenap kita yang menyayani Prof Safwan Idris.
Sebagaimana pembaca ketahui – seperti banyak informasi yang dapat diakses di media -- bahwa Prof Safwan Idris adalah rektor ketujuh UIN Ar-Raniry, yang meninggal dunia pada 16 September tahun 2000 karena ditembak di ruang tamu rumah dinasnya di kompleks UIN Ar-Raniry. Tragedi itu belum terungkap sampai saat ini. Keluarga tampaknya sudah mengikhlaskan kepergian almarhum dengan mengharap keridhaan dan keadilan mahkamah dari Allah Taala.
Tokoh Pejuang
Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Mujiburrahman, tampak memberi perhatian khusus terhadap prof Safwan. Dalam sambutan panjangnya pagi itu Prof Mujib menyatakan kita sudah kehilangan seorang sosok guru besar, pemimpin, inspirator, dan pengayom yang sangat meiliki gezah dan wibawa, dan sangat dihormati. Almarhum tidak hanya disegani oleh mahasiswa tetapi juga oleh dosen dan tenaga kependidikan. Bila beliau lewat orang segera menyesuaikan sikap dan menghormati, karena ta’zhim.
Dalam pandangan Prof Mujib, almarhum Safwan Idris adalah tokoh pejuang yang kharismatik dan sulit kembali ditemukan ada tokoh sekaliber beliau di Aceh setelah itu. Terutama di kampus perguruan atinggi, baik di UIN Ar-Raniry maupun di USK. Selanjutnya Prof Mujib menguraikan sembilan hal yang melekat pada gaya ketokohan almarhum Safwan Idris selaku rektor IAIN Ar-Raniry kala itu.
Pertama, tokoh nasional penggerak perubahan IAIN ke UIN. Safwan Idris adalah salah satu tokoh kampus di jajaran kementerian agama yang berada di balik konsep perubahan IAIN (Institut Agama Islam Negeri) ke UIN (Universitas Islam Negeri). Beliau tergabung dalam forum nasional rektor PTKIN kala itu. Gagasan perubahan IAIN ke UIN pada awalnya memang tampak ada tantangan karena khawatir dapat mengganggu kedalam kajian ilmu ilmu murni keislaman. Cak Nurchalis Majid adalah salah satu tokoh yang mengkhawatirkan itu.
Tetapi kini kita lihat sebaliknya bahwa nomenklatur UIN dapat memiliki otoritas untuk memperluas wilayah kajian ilmu bahkan ke applied sciences yang berpotensi alumninya dapat berkiprah dalam sektor kehidupan yang lebih luas ketimbang hanya sektor pembangunan keagamaan.
Kedua, menerapkan gaya kepemimpinan kolektif kharismatik. Prof Safwan bukan pemimpin otoriter di kampus. Bukan pula laissez faire, yang membiarkan bola penanganan lembaga lebih besar pada bawahan yang berpotensi solusi masalah diambil pada kemungkinan yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Beliau pemimpin demokratis, yang mendorong kolektifitas dan kemitraan.
Gaya kepemimpinan seperti ini tidak mengabaikan peran yang dapat dilakukan oleh tim yang qualified disamping juga terjadi distribusi pekerjaan mengalir ke individu yang berketrampilan (skillful). Karena beliau tokoh kharismatik maka gaya kepemimpinan demokratis kolegial itu menjadi bergezah dan dampaknya menjadi sangat dahsyat.
Ketiga, komitmen akademik yang luar biasa. Prof Mujib menceritakan pengalaman beliau melihat Prof Safwan mengutamakan komitmen akademik dibanding kepentingan pribadi dan keluarga. Beliau menjalankan bagaimana komitmen akademik harus diprioritaskan, bukan mewacanakan. Hatta satu ketika, cerita prof Mujib, sebagai rektor Prof Safwan rela hadir memimpin ujian skripsi mahasiswa sampai menjelang magrib malam hariraya. Padahal sore itu beliau bersama keluarga sedang padat melakukan persiapan acara openhouse untuk esok harinya. Tentu saja banyak cerita lainnya dari pengalaman orang disekitar beliau yang menegaskan komitmen akademik lebih beliau utamakan.
Keempat, menerapkan slogan intelektualitas dan moralitas. Slogan ini, kata Prof Mujib, merupakan cerminan dari pribadi Prof Safwan Idris sendiri. Beliau orangnya cerdas, mengutamakan rasionalitas dan profesionalitas. Tetapi juga berakhlak, jujur, mengutamakan nilai agama dan menghindari sikap dan perilaku amoral. Almarhum Safwan menghendaki insan Ar-Raniry memiliki dan memegang secara utuh kedua aspek ini. Yaitu kecerdasan intelektual disatu sisi dan kecerdasan emosional dan spiritual di sisi lain. Yaitu kedua belah otak kiri dan kanan dengan paduan hati semua berjalan seimbang dalam kehidupan insan kampus dan masyarakat. Terhadap prinsip ini Prof Mujib menyebut rujukan teorinya ke konsep Qawiyyun Amin, kuat dapat dipercaya (QS An-Namlu dan Al-Qashash).
Kelima, filsuf. Prof Mujib menceritakan, dalam satu kesempatan beliau bertemu dengan seorang tokoh nasional, mantan rektor dan pejabat di kementerian agama. Tokoh tersebut mengatakan, kata beliau, bahwa Prof Safwan itu filsuf yang disegani di forum nasional. Filsuf adalah seseorang yang berpikir kritis dan mendalam untuk mencari kebijaksanaan dan menjawab pertanyaan mendasar tentang kehidupan, pengetahuan, moralitas, dan realitas. Tak lupa tokoh nasional tersebut menceritakan kepada Prof Mujib, bahwa bila Prof Safwan ada dalam satu forum bersama tokoh nasional lainnya, maka tidak ada yang berani tampil memberi ceramah di depan. Selagi Prof Safwan hadir maka beliaulah yang digadang memberi ceramah.
Keenam, visioner. Berpandangan kedepan. Sikap ini lekat di pribadi almarhum Safwan Idris. Beliau memiliki visi yang jelas dan bahkan melampaui waktu pada masanya. Sebagai rektor, Prof Mujib melanjutkan kisahnya, Prof Safwan tampak gelisah memikirkan jalan pengembangan dosen di institusi yang dipimpinnya. Para dosen umumnya lulusan S1, sedikit yang S2 apalagi S3. Guru besar tentunya juga masih dalam hitungan jari kala itu. Prof Safwan ingin para dosen melanjutkan S2, minimal.
Beliau cari beasiswa. Mendapat dukungan dari Dirjen di Kemenag. Tidak banyak dosen pada masa itu berpikir untuk lanjut ke S2, karena tidak memiliki konsekuensi apa apa juga walau tetap mengajar dengan status S1. Tapi prof Safwan terus melangkah, berupaya ke arah itu. Tidak ada yang paham secara persis spirit yang beliau perjuangkan. Tapi apa yang terjadi? Tak lama setelah itu kemudian keluar ketetapan pemerintah bahwa dosen harus minimal lulusan S2. Inilah firasat atau preferensi seorang visioner. Yang mampu melihat kemajuan apa yang akan terjadi dan apa persiapan yang harus kita lakukan.
Ketujuh, berintegritas. Satu dari yang dikemukakan Prof Mujib adalah Prof Safwan tidak mau bermain main dengan nama baik. Beliau sangat menjaga itu. Termasuk tidak ada ruang yang beliau buka untuk cincai-cincai. Mahasiswa dan atau dosen, dan karyawan yang masuk IAIN ar-Raniry harus lulu sendiri, tidak ada backingan, hatta keluarga dan anak kawan dekatnya sendiri. Beliau keras, tidak ada intervensi. Sampai ada satu kasus, yang ini cerita Syech Syahminan saat beliau menghadapi proses kelulusan sebagai dosen IAIN Ar-Raniry.
Tim seleksi menghadapi masalah. Syech Syahminan mendapatkan nilai sama persis dengan satu kandidat lainnnya, Helmi Anwar. Siapa yang harus diluluskan? Dibawa ke rektor, Prof Safwan. Beliau mempelajari dengan seksama, ya benar benar nilai hasil tesnya sama. Di luar dugaan, beliau lotre, diundi, dimana kedua kandidat itu memiliki peluang yang sama besar untuk lulus. Posisi yang tersedia satu. Dua nama di kocok kocok. Ambil satu. Keluar nama Syahminan. Lalu Prof Safwan mengucap selamat. Sementara satu kandidat lainnya dicarikan peluang ke IAIN lain, ya Alhamdulillah masuk ke IAIN Curup Bengkulu, walau kemudian Ustaz Helmi juga sudah kembali, mutasi ke UIN Ar-Raniry.
Kedelapan, tegas membela kebenaran. Orang seperti Prof Safwan mudah dipahami kalau beliau tegas dan keras dalam membela kebenaran. Tidak mendua sikapnya. Benar dan salah jelas bedanya, tegas pisahnya. Dalam diri beliau tidak ada KKN (korupsi, kulusi dan nepotisme). Semua berjalan normal dan atas dasar nilai agama dan sikap profesionalisme yang diyakininya.
Ini kembali cerita Syech Syahminan. Selaku tenaga dosen IAIN Ar-Raniry satu ketika Syech ditempatkan di Lembaga Bahasa. Di lingkungan itu Syech dikenal sebagai “Toke”. Pasalnya, dana honor rektor Safwan, dari mengajar, seminar, melatih dan lainnya yang terhimpung dalam format remon, kalau dalam skema sekarang, itu tidak beliau ambil. Setiap dibawa amplop berisi uang ke pak rektor Safwan beliau bertanya “uang apa ini”, trus diserahkan ke Syech untuk mengelola.
Alkisah kala itu makmur di lembaga bahasa, beli makanan, minum minum selalu tersedia dari remon pak rektor, Prof Safwan. Jadi yang mengelola itu semua untuk kemaslahatan “pesta” warga dunia persilatan teman teman seperguruan adalah Toke Syahminan. Dari cerita ini tampaknya dapat diduga kuat bahwa Prof Safwan hanya membawa gaji beliau ke rumah.
Kesembilan, menyayangi mahasiswa. Safwan idris terkenal penyayang. Beliau menyayangi seluruh mahasiswa. Bagi beliau mahasiswa yang datang dari jauh pelosok negeri dengan niat mencari ilmu untuk perubahan nasib dan kemajuan keluarga dan masyarakatnya, adalah mutiara yang belum terasah. Banyak yang sangat lugu dan bersahaja. Tetapi di hadapan beliau tidak ada yang sia sia.
Prof Mujib menceritakan, bahwa Prof Safwan di tengah padatnya agenda beliau sebegai rektor, beliau membagi waktu tiap hari untuk membimbing mahasiswa. Pukul 7.00 sd 8.00 setiap pagi, di kantornya. Beliau tentu membimbing dengan baik bukan hanya sebagai guru tetapi bahkan rasa sebagai orang tua untuk mereka. Tak lupa setiap mahasiswa yang datang untuk bimbingan setiap pagi hari kerja itu beliau bertanya sudah sarapan? Lalu memberi uang untuk makan.
Kebiasaan belau memberi uang kepada mahasiswa rupanya berlanjut ke para dosen dan karyawan beliau. Banyak teman yang punya pengalaman diberi uang oleh beliau. Untuk makan. Bantuan SPP, bantuan ongkos transportasi pulang kampung dan lain sebagainya.
Guru Luar Biasa
Dalam hidup saya, saya pernah bertemu dua orang pribadi luar biasa. Keduanya masuk ke dalam diri saya. Menjadi guru saya. Menjadi sahabat saya. Menjadi panutan saya. Menjadi inspirator bagi saya. Keduanya sudah berpulang ke hadirat Allah, tetapi masih hidup dan hadir di depan saya setiap saat.
Pertama, Prof Safwan Idris. Selama kuliah di IAIN Ar-Raniry, 1982 sd 1988, tidak ada satu pun matakuliah beliau yang saya ikuti. Tapi membantu beliau mengajar, pernah. Saya berguru ke beliau di luar kelas. Dalam berbagai kesempatan di kampus, di organisasi, dan di masyarakat. Karena mudah dekat dan beliau memberi perhatian baik dengan pola komunikasi beliau yang nyaman dan menyenangkan, saya – seperti juga teman teman lain kala itu – tak melewatkan sedikitpun bila ada kesempatan bertemu. Termasuk berusaha mengikuti dimana ada sesi beliau mengisi seminar, khutbah, ceramah dan momen lainnya.
Kedua, Prof Muhammad Amin Aziz (MAA). Tahun 1988, sepindah saya dari IAIN Ar-Raniry, saya ketemu guru kedua saya,Prof MAA, di Jakarta. Saya bekerja di bawah bimbingan beliau, menjadi tim beliau. Saya bahkan beberapa waktu sebelum berkeluarga tinggal di rumah beliau di kawasan Cijantung Jakarta Timur. Beliau guru besar IPB Bogor, yang kuat berkiprah di biro konsultan agribisnis dan pemberdayaan ekonomi syari’ah Indonesia. Beliau meninggal tahun 2014 dalam usia 78 tahun.
Prof MAA kala itu bersinergi dalam satu gerakan dengan empat tokoh cendekiawan lainnya; Dawam Raharjo, Adi Sasono, AM Saefuddin, dan Abdillah Toha. Mereka berlima dikenal sebagai Pendawa Lima. Yang bergerak cepat dan tajam dalam pemberdayaan dan advokasi berpusat di Jakarta. Pendawa Lima ini kuat mempengaruhi konsep dan dobrakan pergerakan islamisasi kelembagaan dan kebijakan di beberapa sektor, khususnya ekonomi.
Awalnya, setiba di Jakarta saya diarahkan “magang” ke tim Mas Dawam. Di LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat). Tetapi sebagai fresh graduate dari kampung yang baru tiba di kota metropolitan saya tidak tahan dalam lingkungan ala Mas Dawam. Bersama Mas Dawam kala itu sudah ada bang Saleh Khalid, Zaki Siraj, Hadi Mulyo dan sejumlah aktifis lain. Mereka sudah settle saat saya bergabung di markas LSAF di Empang Tiga Pasar Minggu. Bagi saya Mas Dawam bukanlah seorang guru tetapi penggerak yang menggebrak. Gayanya kira kira, kalau mau hidup ya kamu harus belajar. Hidup ini keras. Kira kira begitu.
Melihat tidak berkembang saya dipindah kembali ke bawah asuhan Prof MAA di markas gerakan di Tebet Timur Raya Tebet. Gedung PPA (Pusat Pengembangan Agribisnis). Saya perlahan tumbuh dalam sistematika Prof MAA meskipun tetap bersinergi di rumah besar Pendawa Lima. Kelima tokoh Pendawa Lima adalah pimpinan kami.Selalu bertemu, umumnya di Tebet. Tapi dengan berfokus dengan MAA saya menemukan basis dan gaya LSM developmentalis yang bergerak di level grass root. Hampir duapuluh tahun saya bersama MAA, saya melihat dan saya terlibat membangun jaringan kader di akar rumput di seluruh pelosok tanah air.
Sementara di lain jalur, Mas Adisasono – demikian beliau sering dipanggil, tetap dalam kerangka Pendawa Lima – bergerk cepat dengan style dobrakan beliau. Tidak hanya bergaya developmentalis tetapi juga advokasi dan politik. Kader kader yang tumbuh dan besar di lingkungan beliau seperti Fahri Hamzah, Priyo Budi Santoso, Eggy Sujana, Syahganda Nainggolan, dan banyak nama lain, yang kemudian mampu bergerak dan masuk lini cepat secara dahsyat.
Pendawa Lima yang kemudian beraviliasi di ICMI bergerak ke segala penjuru angin. Prof MAA dengan gaya tawadhu dan kami timnya memilih turun ke bawah, ke masyarakat. Tentu seperti keempat tokoh lainnya, masing masing menggendong ide besar islam untuk Indonesia.
Saya marasa nyaman dan cocok dengan perjuangan Prof MAA. Saya rasa karena saya menemukan kesamaan dalam banyak hal antara Prof MAA dengan Prof Safwan Idris, guru yang sebelumnya menjadi suhu bagi saya di Ar-Ranity. Saya kemudian bergerak dari masjid ke masjid. Sejak masjid Istiqlal di Jakarta – dimana saya sempat berkantor selama hampir tiga tahun – sampai ke seantero negeri tempat dimana ide ide jaringan pemberdayaan, khususnya pemberdayaan ekonomi umat, digerakkan oleh teman teman seluruh Indonesia umumnya melalui jaringan masjid, lembaga pendidikan dan organisasi kemasyarakatan.
‘Ala kulli hal, dua tokoh dengan pribadi luar biasa diatas telah secara dalam tertancap dalam diri saya. Safwan Idris dan Muhammad Amin Aziz. Kedua nama beliau selalu otomatis tersirat dalam doa doa saya kepada para guru yang berjasa. Bersama para guru lainnya kiranya Allah merahmati mereka berdua dalam kasih sayang dan ridhaNya. Amin. Wallahu a’lam.
(Penulis juga Pembina Yayasan PINBUK Indonesia, ICMI)


