-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Jalan Mendaki Moderasi Beragama

Selasa, 29 Juli 2025 | Juli 29, 2025 WIB Last Updated 2025-07-30T04:30:48Z

  



Oleh Saifuddin A. Rasyid

(Akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh)


Al-Rasyid.id --- Dalam satu sesi Rakor Rumah Moderasi Beragama Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (RMB PTKI) se-Indonesia sekira menjelang akhir tahun 2023 di Jakarta Ibu Alissa Wahid, Tim Ahli Menteri Agama, memulai sesi beliau dengan satu pertanyaan. “Bagaimana pandangan anda bila moderasi beragama di Indonesia ditiadakan?”. 


Sejenak kami terdiam mencoba memahami arah pertanyaan itu. Saya yang hadir sebagai peserta rakor itu segera menjawab, setelah sebelumnya secara cepat berpikir adakah pertanyaan ini terkait dengan kemungkinan pergeseran arah kebijakan pembangunan keagamaan dibawah presiden terpilih tahun 2024? Kala itu Pak Anies Baswedan sudah diusung sebagai capres kuat untuk bertanding di pilpres Februari 2024. Tapi itu hanya pikiran saya saja, sedang Mbak Alissa mungkin tidak berorientasi kesitu.



Saya menjawab, “walau berganti presiden, berganti rejim dan pemerintahan, moderasi beragama tetap diperukan oleh Negara berpenduduk majemuk seperti Indonesia. Dari segi program, proyek, berdasarkan kebijakan pemerintah melalui Menteri Agama, bisa saja ditetapkan dengan nama lain, tetapi substansinya tetap diperlukan. Terlalu berisiko bagi hubungan umat beragama di Indonesia bila konsep seperti moderasi beragama ditiadakan”. Peserta Rakor yang lain dan Mbak Alissa sendiri tampak menyepakati jawaban ini.


“Tak Suka Istilah Moderasi Beragama”


Prof Nasaruddin Umar, tatkala baru saja dilantik Presiden Prabowo sebagai Menteri Agama (Menag) dalam Kabinet Merah Putih, Oktober 2024. Salahsatu statemen awal beliau sebagai Menag adalah terkait moderasi beragama. “Saya tidak begitu suka istilah moderasi beragama, saya lebih suka konsep kerukunan antar umat beragama”. Beliau menyampaikan hal itu dengan alasannya secara akademis dan konseptual. Saya mengikuti penjelasan beliau itu logis, masuk akal. 


Apakah kemudian moderasi beragama ditiadakan? Tidak, ternyata. Memang yang sudah berlangsung sejak lama, sejak kebijakan Menag Alamsyah, bahkan Mukti Ali dan Saifuddin Zuhri, adalah konsep dan istilah kerukunan antar umat beragama. Beberapa pejabat di Kemenag, yang kami sempat mengobrol ringan dalam kiprah awal saya sebagai Koordinator PKMB (Pusat Kerohanian dan Moderasi Beragama) UIN Ar-Raniry kala itu, juga terkesan melihat pergerakan moderasi beragama lebih membutuhkan upaya pemahaman ketimbang kerukunan antar umat beragama. 



Di tangan Menag yang memahami konsep secara baik, seperi Lukman Hakim Saifuddin (LHS), moderasi beragama baik sebagai program maupun proyek, berjalan anteng. Tidak krasa krusu. Berlangsung baik dan tak menimbulkan “gejolak batin”. Mungkin juga karena kebijakan puncak pemerintah yang beliau emban masa itu adem saja soal pembangunan keagamaan. Sehingga buku panduan moderasi beragama -- yang beliau susun dan digunakan sampai saat ini -- dapat dimaknai dengan baik.



Tetapi ketika “bola” jatuh ke kaki seorang pemain berkarakter kuat yang bergeraknya zig-zag konsep moderasi beragama terkesan bergulir liar. Terkesan terkadang terlalu inovatif dan bermain di garis pinggir. Sehingga baik pemain khususnya di PTKIN maupun penonton di lingkar lapangan, sempat dag dig dug dibuatnya. 



Menag Yaqut kala itu sempat tampil agresif dan konservatif membawa bola ke arah gawang. Sesekali bahkan beliau terpeleset dan mencetak gol ke gawang sendiri. Gaya bermain beliau itu sempat meninggalkan kesan kurang nyaman bagi kalangan tertentu khususnya di kalangan tokoh dan pemimpin umat Islam.



Di tangan pemerintah sebelumnya moderasi beragama tidak hanya berjalan sebagai konsep untuk membangun harmonisasi hubungan umat beragama, dan untuk menekan radikalisme dan ekstremisme dalam pengamalan ajaran agama, tetapi juga sudah cenderung menjadi “fasion’ untuk membentuk teori baru budaya keagamaan khas Indonesia. Fasion ini kebanyakan orang melihatnya sejalan dengan spirit “kebudayaan” islam nusantara, dalam maknanya yang dipersepsi setengah miring.



Tendensius



Sebagai satu program prioritas Kemenag moderasi beragama sempat tampil istimewa. Acara acara (proyek)nya mewah. Tak kurang saya melihat Prof Wildan, rektor ISBI Aceh, di tengah rakor pimpinan perguruan tinggi se Indonesia, sekira pertengahan tahun lalu di satu hotel mewah Jakarta, mojok di luar ruangan pertemuan saat rehat minum. “Banyak sekali uangnya Kemenag ya, untuk acara seperti ini saja bisa sangat mewah”, demikian gumam beliau saat saya dekati. Padahal rakor itu hanya pembentukan sekber dan sosialisasi Perpres nomor 58 tahun 2023 tentang penguatan moderasi beragama.



Sempat terkesan tendensius program ini dalam banyak momentum mendapat penilaian negatif (penolakan) dari beberapa pemimpin dan tokoh umat Islam. Karena proyek proyek moderasi beragama dipersepsikan bergerak secara berani untuk “melemahkan” umat islam di Indonesia. Terkesan mensimplifikasi dan memarginalisasi islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas bangsa ini. Tak heran sampai MUI menilai langkah moderasi beragama yang dijalankan sudah kebablasan dan mengeluarkan fatwa haram salam lintas agama.



Tiga Faktor Menguatkan



Menjalankan program penguatan moderasi beragama di Indonesia, sekalipun tanpa jor-joran anggaran, merupakan keniscayaan. Karena Indonesia bangsa majemuk, baik dari segi geografis, agama, budaya, bahasa, dan sebagainya. Berikut ini ada tiga faktor yang menguatkan program ini seyogianya terus dapat berjalan.



Pertama, Konsep Islam Wasathiyah. 



Seperti diakui oleh penulis buku utama moderasi beragama, LHS, konsep moderasi beragama merujuk pada khazanah referensi islam wasathiyah, yaitu konsep yang dapat digali dari referensi islam klasik. Khususnya seperti dapat secara detail kita pelajari dari pemikiran Syech Yusuf Al-Qardhawi. Prinsip jalan tengah (wasath) yang kemudian dikembangkan dalam konsep dan perilaku moderat adalah murni bersumber dari inspirasi referensi islam. Yaitu islam rahmatan lil’alamin. Prinsip ini juga sejalan dengan nilai agama agama lain dalam terminologi yang berbeda.



Dalam konsep moderasi beragama umat Islam diminta tetap kokoh tak bergeming (radic) mengikuti ketentuan petunjuk Allah dan RasulNya. Tetapi bersikap moderat dan berperilaku toleran dalam mejalankan ajaran agama terutama terkait hubungan sesama manusia. LHS meminta jangan salah dipahami, kita tidak memoderasi agama – “memangnya siapa kita yang berani memoderasi agama Allah, demikian LHS. Tetapi yang kita moderasikan adalah perilaku kita dalam beragama, dalam menjalankan ajaran agama, agar tidak ekstrim. 


Kedua, Investasi Yang Sudah Berjalan


Program ini sudah berjalan. Negara sudah berinvestasi. Termasuk bahkan ketika implementasinya dinilai keliru karena terbawa euphoria politik dan fasilitas yang menggiurkan. Tetapi program ini belum selesai. Tentu dengan tantangan yang lebih besar program ini perlu terus jalan dan tentu dengan upaya mengembalikannya ke koridor yang sebenarnya. 


Di tangan dingin seorang Menag yang tepat, dengan penguasaan konsep dasar kerukunan antar umat beragama dan visi kebijakan substantif untuk Indonesia kuat dan harmonis, tentu besar harapan kita program ini dapat terus berjalan dan mendapat prioritas. Meskipun dalam nama program yang berbeda dan dengan anggaran yang mungkin tak gegap gempita.


Ketiga, Dukungan Kebijakan Negara.


Perpres penguatan moderasi beragama nomor 58 tahun 2023 yang sudah merata dipahami di lintas kementrian dan lembaga dan format sudah mulai masing masing dikerjakan, ini adalah modal. Sekber dan badan khusus penguatan moderasi beragama, demikian juga forum forum yang sudah terbentuk, tentu dapat terus melangkah dengan penyesuaian yang diperlukan.


Efisiensi di jalur Kemenag tahun 2025 ini memang secara langsung mengintervensi anggaran program moderasi beragama. Tetapi itu bukan berarti berkurangnya kepentingan program ini untuk terus berjalan kedepan. 


Dalam percaturan dunia yang semakin panas, informasi makin terbuka dan perkembangan generasi makin kuat dan tak lagi sangat terikat dengan norma dan ikatan primordial maka ini menuntut ketajaman para pemimpin dalam melihatnya. Baik pemimpin masyarakat, pemimpin agama, maupun pemimpin lembaga negara. []

×
Berita Terbaru Update