-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Manuver Strategis Pustakawan Berdaya

Kamis, 31 Juli 2025 | Juli 31, 2025 WIB Last Updated 2025-08-01T04:51:44Z

 


Oleh Saifuddin A. Rasyid

(Advisor IPI Aceh, Dosen Ilmu Perpustakaan UIN Ar-Raniry)


Al-Rasyid.id | IPI Aceh (Ikatan Pustakawan Indonesia, Aceh) baru saja selesai melaksanakan Musda (Musyawarah Daerah) ke 14, Kamis 31 Juli 2025 di Aula Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh (DPKA), di Banda Aceh. Musda yang dihadiri oleh Ketua Umum IPI Pusat, Syamsul Bahri, dan sekira 80-an pustakawan dari berbagai daerah di Aceh ini intinya untuk penyegaran organisasi. Salah satu hasil Musda ini adalah menetapkan kembali Nazaruddin Musa, (pustakawan) akademisi prodi Ilmu Perpustakaan UIN Ar-Raniry, sebagai Ketua IPI Aceh Periode 2025-2028.


Musda yang diawali dengan sesi seminar nasional ini mengangkat tema “Pustakawan Berdaya Literasi Berjaya”. Sebuah narasi tema yang memberi pengakuan pada pentingnya kekuatan pustakawan dalam menghadapi gelombang besar abad informasi dan persoalan literasi informasi bangsa.


Pustakawan adalah profesi yang berkiprah dalam penyediaan informasi melalui perpustakaan dan dalam pencerdasan literasi pengguna perpustakaan (library users) -- secara umum dalam narasi resmi disebut “pemustaka”. Profesi pustakawan ini diakui dan diatur dalam UU Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, dan perangkat hukum terkait lainnya.


Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 5.563 pustakawan yang bekerja di berbagai perpustakaan tersebar di seluruh tanah air, sekitar 216 ada di Aceh (BPS, 2024). Mereka bekerja secara profesional sebagai tenaga fungsional khusus bidang kepustakawanan (librarianship) di berbagai jenis dan level perpustakaan; perpustakaan nasional, perpustakaan umum propinsi dan kabupaten kota, perpustakaan perguruan tinggi, perpustakaan sekolah, perpustakaan khusus, dan juga perpustakaan pribadi.


Sebagai satu profesi sesungguhnya pustakawan sama sejajar dengan profesi lain. Tidak kurang tidak lebih. Tetapi dalam berbagai perhelatan, di Indonesia profesi pustakawan masih terkesan merasa diposisikan kurang sejajar dengan profesi lainnya. Padahal dalam kepentingan saat ini pustakawan menghadapi wilayah pekerjaan yang sangat penting terkait dengan proses dan target pencerdasan informasi warga bangsa.


Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave (1980) menginspirasikan betapa pekerja bidang informasi menghadapi satu gelombang besar era informasi yang disebutnya dengan gelombang ketiga dalam perjalanan peradaban kehidupan manusia. Gelombang pertama disebutnya era agraris dimana manusia hidup dalam interaksinya dengan alam. 


Sementara gelombang kedua adalah era industri yang ditandai dengan perkenalan dan interaksi manusia dengan mesin mesin dalam menjalani kehidupan mereka. Era ini sudah nyaris berlalu dalam peradaban manusia.


Sedangkan gelombang ketiga saat ini sedang intens berlangsung ditandai dengan berperannya informasi demikian penting dalam proses kehidupan manusia. Manusia pada era ini sudah tidak dapat hidup tanpa informasi. 


Menghadapi pergerakan peradaban era informasi ini betapa besarnya peran yang dapat (sejatinya) dilakukan pustakawan sebagai profesional bidang informasi. Yaitu dengan memastikan kertersediaan dan pengelolaan (supply) koleksi sumber yang diperlukan sesuai hajat (demand) pencari informasi. 


Koleksi buku dan bentuk tercetak lainnya yang selama ini secara konvensional digarap pustakawan untuk saat ini dan kedepan bukanlah lagi merupakan sumber utama yang dapat diandalkan dalam “bisnis” perpustakaan. Tetapi sumber dalam bentuk lainnya yang tersedia dan memungkinkan kemudahan lebih baik bagi pemustaka yang tersedia dan dapat diolah di alam seluas jagat raya. 


Pustakawan seyogianya berani keluar dari kotak ruangan perpustakaan yang sempit terbang ke angkasa, menembus hutan belantara, dan menyelam samudera untuk menemukan sumber informasi yang diperlukan pemustakanya. Bikin pemustaka terpuaskan (satisfy) dengan informasi yang kebutuhannya. 


Bagaimana pustakawan dapat melakukan itu? Berikut tiga hal yang saya rasa penting bagi pustakawan untuk terus menerus diupayakan. Secara simultan, bukan sekuensial.


Pertama, Terus Menerus Mengembangkan Kompetensi. 


Pustakawan tentu sudah memahami kompetensi dasar sesuai kriteria standar yang diperlukan untuk mejadi pustakawan. Kompetensi mengurusi sumber (penyediaan, pelayanan, pemeliharaan), kompetensi pengelolaan fasilitas (sarana dan prasarana), kompetensi pengelolaan manusia (tim manajemen dan pemustaka), kompetensi jaringan, kerjasama dan kemitraan.


Masing masing item kompetensi, baik terkait ilmu pengetahuan, keterampilan, dan seni mengelola perpustakaan, tidak berhenti di angka sepuluh atau seratus untuk mendapatkan nilai maksimal. Tetapi berulang ke seratus satu, seribu seratus satu dan seterusnya, sampai tak terhingga. Sesuai kodrat mengalirnya mata air ke samudera kemajuan teknologi informasi seperti yang antara ain kita saksikan saat ini. Pengembangan dan proses kematangan kompetensi pustakawan tanpa henti adalah keniscayaan. 


Dalam membangun kompetensi jangan melawan teknologi. Teknologi informasi dan atau apapun namanya, AI juga misalnya, mereka adalah robot. Jangan bersaing dengan robot. Teknologi bukan lawan kita, dan juga bukan teman kita. Tetapi bila kita tersilap bisa saja kita diinjaknya. Mereka adalah alat yang dapat mempermudah pekerjaan kita dalam mencapai tujuan sejauh kita dapat memanfaatkan mereka dengan baik dan bijak sesuatu keinginan kita. 


Jadi sebagai manusia apalagi terdidik kita tidak akan pernah dikalahkan oleh robot. Profesi pustakawan akan jaya dengan bantuan robot. Tapi berhati hati jaga diri jangan sampai mati konyol di tangan mereka.


Kedua, Investasi Dalam Membangun Pilar Kekuatan Profesi


Profesi pustakawan adalah profesi, yang tidak dapat dibandingkan atau disandingkan dengan profesi lain di sekitarnya. Profesi ini mandiri. Bagaikan bangunan rumah yang kita bangun atas dasar kesadaran sendiri, skema dan sketsa kita sendiri, kemampuan kita sendiri, dan rencana dan gambaran masa depan kita sendiri. Seorang pustakawan seyogianya punya visi masa depan yang mampu dilihat dengan jelas oleh dirinya sendiri. 


Adalah disayangkan bila pustakawan melirik dan membandingkan dirinya dengan profesi lain, yang tertinggal maupun lebih maju. Saya beberapa kali menemukan ada pustakawan yang rendah diri dengan profesinya. Malu dengan dirinya sendiri. Ini bentuk kemunduran mental pustakawan. Saya bangga dengan isteri saya karena dia pintar dan cantik. (Misal, ini misal). Tetapi isteri saya profesional, dia bangga dengan suaminya meskipun jelek. Yang seperti ini kekuatan. Bayangkan seorang pustakawan merasa rendah diri, bahkan stress ketika diejek, maka kemungkinan besar pustakawan seperti ini akan terus lemah dan mati muda.


Salahsatu pendekatan yang efektif dalam membangun dirinya adalah dengan “berjamaah” dalam ikatan profesi. IPI salah satunya. Jangan menyendiri dalam mengembangkan profesi. Ambil peran proaktif dalam asosiasi atau ikatan profesi. Jangan tunggu diundang, tetapi silahkan bayar bahkan, untuk masuk mendapatkan manfaat dari satu asosiasi atau ikatan profesi.


Satu lagi, berperilakulah tangan diatas dalam asosiasi atau ikatan profesi. Jangan baper atau terbawa emosi. Yakinlah tidak akan ada orang yang memperhatikan dan menyayangi anda karena orang sibuk membangun peluang untuk diri mereka. Bersainglah, kejar hal hal yang anda rasa tertinggal. Tentu berdasarkan kalkulasi kebutuhan skill dan jaringan sendiri yang anda lakukan secara cerdas. Dalam asosiasi atau ikatan profesi memberi adalah kehormatan, dan menerima secara gratis apalagi meminta tanpa barter adalah kesialan.


Ketiga, Berani Jual Diri.


Istilah jual diri ini mungkin kurang enak didengar karena seringkali dikaitkan dengan pasar gelap dalam kegelapan. Tetapi sesungguhnya konsep jual diri bagi pustakawan atau profesi apapun adalah baik.


Dalam manajemen strategis konsep jual diri (self-marketing) ini merujuk pada kemampuan komunikasi untuk mempresentasikan diri secara efektif agar dapat menarik perhatian, membangun reputasi positif, dan memperkuat relasi dalam mencapai tujuan profesional.


Pustakawan yang aspek kompetensi dan unsur profesinya terus berkembang, akan mudah menjual diri. Adalah naïf, bila seorang pustakawan masuk dan bersedia mati di satu kotak kecil dibawah tekanan orang lain. Padahal mereka kompeten. Mengapa mereka tidak berupaya membangun dengan terencana dan atau keluar pindah ke perpustakaan lain yang potensial dapat lebih maju.


Ingat, pasar pustakawan masih sangat luas. Bandingkan dengan dokter. Tahun 2025 jumlah dokter di Indonesia sekira 27 ribu, dari 78 ribu yang dibutuhkan untuk melayani 280 juta penduduk Indonesia. Bayangkan betapa masih sedikitnya pustakawan dibandingkan dengan kebutuhan. Data BPS 2024 menjelaskan jumlah perpustakaan di Indonesia 14.246. Sebanyak 10.500an atau 74 persen diantaranya perpustakaan sekolah. Selebihnya tersebar, 2.859 perpustakaan umum, 634 perpustakaan perguruan tinggi, dan 227 perpustakaan khusus.


Pikirkan siapa yang mengelola 27 ribu perpustakaan itu? Bukankan kurang dari 6 ribu pustakawan yang ada sekarang di Indonesia masih merupakan angka yang sangat kecil? Memang DPR dan pemerintah sudah menyadari hal ini. Tetapi apakah ya seorang profesional akan mengkomplain hal ini? Atau bukankah ini satu peluang besar bagi profesional pustakawan untuk masuk kemana saja dan berkiprah dengan tenang dan melakukan manuver yang diperlukan? 


Tapi ya itu masalahnya, apakah anda pustakawan yang berdaya sehingga mampu memberdayakan dengan nyali anda membangun tanpa henti? Ataukah anda seseorang yang tiap pagi hanya duduk di balik rak buku yang sudah miring dan berdebu, tanpa berpikir untuk melakukan sesuatu? 


Bukankah anda seorang pustakawan yang sudah memiliki cukup ilmu, berketerampilan skill memadai, dan memiliki seni mengelola perpustakaan, dan menulis setiap pengalaman anda dalam lembar curriculum vitae (CV) sebagai tabungan kiprah anda sehingga dalam waktu dekat anda akan dikenal secara luas sebagai profesional pustakawan yang bekerja dalam diam dan penuh perencanaan?

×
Berita Terbaru Update