Oleh Saifuddin A. Rasyid
(Akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
Al-Rasyid.id -- Catatan opini saya terkait hal ini sebelumnya, “Lima Kunci Kemakmuran Masjid Jogokariyan” diantaranya membahas mengenai pengertian masjid berdaya sebagai satu tingkatan tertinggi dari tiga tingkatan masjid masjid di sekitar kita. Opini ini dapat diakses secara online diantaranya melalui Serambinews.com 14 Juli 2023.
Masjid berdaya merupakan tahapan perkembangan masjid yang telah melewati tingkatan masjid donasi dan masjid mandiri. Masjid donasi pembiayaan pembangunan dan operasionalnya tergantung donasi atau sumbangan baik dari jamaah maupun pihak luar.
Sementara masjid mandiri, dikelola dengan support jamaah secara mandiri. Semua kebutuhan pendanaan di masjid mandiri dihitung dan dibagi habis kepada total jamaah. Setiap individu jamaah secara sadar mengambil tanggung jawab (menanggung) untuk membiayai pembangunan, program dan operasional masjid.
Sedangkan di masjid berdaya semua aspek kebutuhan masjid, baik pembangunan, operasional maupun program, dibiayai oleh mesjid sendiri dari pendapatan yang didapat dari keuntungan bisnis maupun pengelolaan asset produktif seperti saham ataupun waqaf.
Bisnis masjid berdaya yang dikembangkan dalam variasi produk dan bidang dapat dijalankan masjid melalui format B to B (business to business) dengan jamaah dan atau mitra masjid, secara profesional sesuai standar manajemen bisnis.
Disini tidak ada lagi berlaku proposal cari donasi dan membagi beban kepada jamaah. Jamaah datang untuk beribadah di masjid berdaya berhak dimanjakan dengan pelayanan prima tanpa harus memberi subsidi. Dalam konteks ini jamaah bukan tidak boleh berinfak, sebaliknya bahkan didorong, tetapi dalam format investasi (saham atau waqaf), baik asset barang atau benda maupun tunai (cash), yang tercatat sebagai aset produktif tetapi hasilnya (pendapatan atau keuntungannya) digunakan untuk membiayai pengembangan dan atau kegiatan masjid.
Bagaimana masjid dapat sampai ke tahap ini, berikut saya turunkan pandangan saya dalam “lima pilar kekuatan masjid berdaya”.
Pertama, toleran terhadap perbedaan dan perkembangan baru.
Disyaratkan baik takmir maupun jamaah seyogianya toleran terhadap perbedaan pendapat dan pemahaman keagamaan, khususnya terhadap hal hal furu’. Tidak ada kemajuan di masjid bila masih “ribut” soal remeh temeh. Di level ini jamaah sudah memahami dengan sangat baik bahwa persoalan khilafiyah tidak lagi perlu dibahas tetapi dijalankan saja sesuai yang disepakati. Jamaah masjid dan takmir hanya perlu menatap kedepan untuk menghadapi permasalahan dan tantangan bersama dalam membangun aspek aspek kemajuan yang signifikan dalam kebersamaan dan saling menghargai.
Urusan syurga kepada siapa akan Allah berikan biar Allah yang tetapkan, kita jalani saja perintahNya dan ikuti tuntunan RasulNya sesuai kapasitas kita masing masing. Jamaah tidak lagi menunjuk kekurangan orang lain, tetapi sadar untuk melihat kekurangan diri masing masing, “thubaa liman syaghalahu ‘aibuhu ‘an ‘uyubinnas”, berbahagialah orang yang sibuk melihat kekurangan diri sendiri daripada sibuk mengurusi kekurangan orang lain (mafhum Hadits). Jamaah sudah sadar tidak perlu sibuk memasukkan orang lain kedalam neraka padahal dirinya juga belum tentu masuk syurga.
Kedua, clear and clean management.
Masjid berdaya mesti sudah punya manajemen, yang tersusun berdasarkan prinsip professional. Masjid memang bukan perusahaan dan atau kantor kedinasan, tetapi mengurusi masjid dengan pendekatan manajemen yang standar, baik secara ilmu maupun seni, adalah keniscayaan.
Tujuan (goal, objective) yang ingin dicapai dalam rentang masa tertentu – jangka panjang misal 5 tahun, menengah 3 tahun, dan pendek 1 tahun -- sudah tersusun baik dengan indikator keberhasilan yang terukur. Strategi pencapaian tujuan, sebagai panduan pengurus dan tim manajemen, dan timing, waktu yang diperlukan untuk mencapai target itu juga tertera dengan jealas.
Disamping itu keuangan tertata sesuai standar akuntansi yang berlaku berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Pencatatan keuangan mesjid bila perlu diaudit dan dijustifikasi oleh akuntan publik
Ketiga, melembaga komunitas dan atau organisasi (paguyuban) jamaah.
Ini penting untuk memberi ruang yang cukup bagi jamaah untuk secara partisipatif mengambil peran mengembangkan program masjid secara mandiri berdasarkan kapasitas masing masing. Jamaah dapat mengelompokkan diri dalam komunitas tertentu berdasarkan keahlian, keterampilan dan minat yang dapat dikembangkan melalui masjid.
Komunitas (paguyuban) jamaah juga dapat dibentuk berdasarkan gender dan tingkat usia. Misal ada komunitas perempuan, komunitas remaja/ pemuda, komunitas pedagang warung, restoran, kedai runcit, bisnis griya, boga, komunitas olah raga dan seni dan lain sebagainya. Didorong agar mengalir sesuai alam masing masing.
Manfaat dari adanya paguyuban jamaah ini adalah untuk mengembangkan kiprah masing masing dalam memajukan masjid. Paguyuban ini tidak dipimpin atau dikendalikan oleh takmir, tetapi dibuat mekanisme pertanggungjawaban masing masing secara terbuka.
Keempat, variasi program; dari ibadah, pendidikan, bisnis dan pemberdayaan.
Program masjid berdaya bervariasi dan terus berkembang. Tidak hanya kegiatan ibadah mahdhah dan kajian ilmu ilmu agama fardhu ain, tetapi berkembang sampai pendidikan non formal dan pelatihan skill yang diperlukan baik oleh anak anak, pemuda dan remaja, kaum perempuan, para pelaku bisnis uasha kecil, dan calon pengusaha baru misalnya.
Disamping itu program bisnis untuk kepentingan menegakkan kemandirian keuangan masjid, dan juga bisnis masjid untuk kemandirian masyarakat. Masjid dapat memiliki program penguatan modal usaha masyarakat melalui lembaga keuangan mikro (LKM) milik masjid, semisal koperasi syari’ah.
Program pemberdayaan dalam bidang lain seperti penguatan kapasitas kesehatan masyarakat, disamping menjalankan layanan ambulans, dapat juga dikelola di bawah masjid, misalnya dengan bekerjasama dengan puskesmas dan potensi lembaga kesehatan masyarakat lainnya. Pengembangan seni dan budaya masyarakat adalah bagian dari yang dapat dikembangkan di bawah manajemen masjid.
Kelima, tersedia ruang dan mekanisme pemasaran masjid (masjid marketing).
Pemasaran masjid dimaksudkan untuk mengkomuniksikan gagasan dan karya karya masjid kepada pihak yang lebih luas, dengan tujuan diseminasi atau promosi bahkan penggalangan investasi yang lebih luas.
Dengan kemajuan fasilitas teknologi informasi tentu pemasaran masjid dapat dijalankan lebih mudah dengan memanfaatkan software, jaringan dan fitur yang tersedia dengan pendekatan digital marketing.
MADADA
Upaya ke arah masjid berdaya memang masih terbilang jauh dan perlu lebih keras. Dari sekitar 740 ribu masjid di Indonesia (data Kemenag), sekitar 4.500-an ada di Aceh. Tidak ada data riel dapat diakses, tetapi dari total itu mungkin belum sampai satu persen yang sudah memasuki level masjid berdaya.
Karena itu, misalnya Kemenag Aceh, saat tulisan ini diupload, sedang menyelenggarakan workshop Masjid Berdaya Berdampak (MADADA) tahun 2025, berlangsung dari 21 sampai dengan 23 Juli 2025 di Banda Aceh, dengan tujuan untuk merevitalisasi BKM dan membina masjid percontohan di Aceh. Kegiatan ini diikuti oleh 40 pengurus BKM (masjid) dari 16 Kabupaten Kota di Aceh, dan diharapkan setelah workshop ini peserta akan menjadi katalisator sebagai menjadi mitra Kemenag dalam berupaya mendorong perkembangan masjid berdaya dan berdampak yang lebih kuat dan lebih banyak di seluruh Aceh (Alfirdaus Putra, Ketua Panitia).
Semoga upaya terus tanpa henti dengan saling bahu membahu diantara para stakeholder masjid, baik di Aceh maupun seluruh Indonesia, akan berdampak lebih nyata bagi menguatnya peran masjid (berdaya) di tengah masyarakat. Wallahu a’lam
Saifuddin A. Rasyid adalah juga Imumsyik Masjid Jamik Baitul Jannah Kemukiman Tungkop Darussalam Aceh Besar, Ketua BKM Masjid Fathun Qarib UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Tgk Imum Meunasah Beurabung Darussalam Aceh Besar, dan Bendahara ICMI Aceh
