Oleh Saifuddin A. Rasyid
(Akademisi dan Pegiat Moderasi Beragama UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
Alrasyid.id | Indeks Kota Toleran (IKT) 2024 yang dirilis Setara Institute pada 27 Mei 2025 lalu masih menempatkan tiga Kota di Aceh pada daftar sepuluh Kota toleran dengan indeks terendah di Indonesia. Ketiga Kota itu adalah Kota Lhokseumawe dengan skor 4,140 di posisi ketiga terbawah, setelah Pare pare dan Celegon. Kota Banda Aceh di posisi keempat terendah dengan skor 4,202, dan Kota Sabang di posisi ke Sembilan dari bawah dengan skor 4,377.
Setara Institute -- LSM berbasis di Jakarta yang bergerak dalam penelitian dan advokasi kebijakan, khusus terkait isu isu toleransi, penghapusan diskriminasi dan kebebasan beragama – mendapat sorotan di Aceh. Khususnya karena tiga dari lima Kota di Aceh, dalam perangkingan yang dilakukan Setara, masuk dalam ranking Kota dengan indeks toleransi terendah nasional.
Ini menarik oleh karena muncul berbagai reaksi yang bervariasi baik dari kalangan aktifis, birokrasi, politisi bahkan akademisi. Termasuk terutama berupa evaluasi tajam yang menyoroti metode penilaian dan indikator yang digunakan Setara. Banyak yang mengaitkan indeks itu dengan kelalaian Setara dalam mempertimbangkan kekhususan Aceh yang menerapkan syari’at Islam dan UUPA. Umumnya meminta agar Setara menyesuaikan indikator perangkingan dengan situasi daerah (propinsi) dengan status khusus seperti Aceh.
Tidak bermaksud mengabaikan masukan tersebut diatas, sejatinya kita mencatat dengan baik upaya Setara Institute dalam membuat dan merilis IKT setiap tahun. Dari laporan Setara kita ketahui bahwa IKT ini sudah dilakukan sejak tahun 2015. Sejak sepuluh tahun lalu. Secara bijak kita melihat ini sebenarnya asset bagi pemerintah Kota di Indonesia, terutama daerah yang mengambil tema toleransi dan anti diskriminasi dalam agenda pembangunan Kota.
Apresiasi
Penelitian Indeks Kota Toleran 2024 dilakukan Setara di 94 dari 98 Kota di Indonesia -- 5 Kota di DKI, dengan kriteria khusus, dijadikan satu atas nama DKI Jakarta. Dengan empat variabel (regulasi pemerintah Kota, regulasi sosial, tindakan pemerintah dan demografi sosio keagamaan) dan delapan indikator, yakni dua indikator dari masing masing variabel, penelitian ini fix menyasar kebijakan dan langkah promotif pengelola pemerintahan Kota terkait tema toleransi (Laporan IKT 2024 Setara Institute, 27 Mei 2025).
Dari rancangan penelitian dapat diketahui dengan baik bahwa, pertama, Setara tidak menilai tingkat toleransi propinsi. Hanya Kota. Yakni 94 Kota di Indonesia. Jadi asumsi sebagian orang bahwa Aceh dinilai intoleran tidak sejalan dengan arah skoring Setara. Asumsi dan klaim bahwa “Aceh Intoleran” itu terbangun bukan dari penilaian Setara Institute.
Perlu dicari secara persis dari mana awal isu atau klaim bahwa Aceh tidak toleran, karena klaim ini merugikan pemerintah dan masyarakat Aceh. Padahal sebagaimana diakui oleh berbagai tokoh baik formal maupun non formal bahwa masyarakat Aceh sangat toleran, menghargai perbedaan dan keberagaman. Kasus kasus kecil di masa lalu terkait tema toleransi ini di beberapa tempat di Aceh diyakini tidak menderai rasa toleran masyarakat.
Kedua, Setara melakukan penilaian substanitif terhadap kebijakan, produk hukum, dan langkah promotif (dan atau deskriminatif) pemerintah Kota terhadap isu isu bertema toleransi. Komentar pemimpin politik, pemimpin birokrasi, dan pemimpin kemasyarakatan juga dicapture dari berbagai sumber resmi dan media terseleksi. Disamping juga perilaku sosial masyarakat.
Ketiga, pengakuan beberapa pemeluk agama minoritas terhadap kenyamanan mereka bertetangga dengan warga Kota setempat tidak merepresentasi secara dominan tinggi rendahnya skor dalam IKT yang dijalankan Setara. Jadi untuk membantah IKT Setara mesti ada format lain dari sekedar pernyataan warga. Kita pun tidak dapat berdalih dengan jarangnya terjadi isu isu intoleransi di masayarakat. Karena hal itu tidak cukup signifikan untuk menggambarkan partisipasi dan inisiasi kepemimpinan Kota.
Keempat, mengusulkan agar Setara bersedia duduk dengan unsur pemerintah Aceh dan atau Pemerintah Kota di Aceh untuk memperbaiki indikator penilaian dengan pertimbangan khusus adalah bukan usulan yang bijak. Karena Setara dalam membangun penelitiannya tidak mendasarkan pada asumsi khusus seperti kebijakan syari’at Islam yang dijalankan di Aceh atau kekhususan lain yang dipangku oleh Kota Kota lainnya di Indonesia.
Kelima, kita sudah melihat tiga dari lima Kota di Aceh pada tahun 2024 lalu masih bertengger di daftar sepuluh Kota dengan indeks toleransi terendah. Ini tentu kita apresiasi kita catat sebagai masukan berharga yang dapat digunakan sebagai dasar untuk membangun kebijakan, produk hukum, program pemerintah Kota, dan penetrasi untuk mewarnai sistem inklusi sosial di masyarakat yang bernuansa nilai dan spirit toleransi
Inovasi
Merespon IKT ini tentunya pemerintah Kota bersangkutan dapat mengabaikan dan menganggapnya sebagai satu intellectual exercise saja. Karena pada dasarnya IKT ini tak akan banyak memberi dampak bagi citra dan kemajuan Kota. Pengelola pemerintahan Kota tentunya sudah memiliki fokus pembangunan yang dijangka menurut arah prioritas masing masing Kota.
Tetapi bagi pemerintah Kota yang merasa penting untuk menidaklanjuti masukan IKT, dengan pertimbangan dan peluang tertentu, tentu saja dapat melangkah untuk memperbaiki dan mengejar hal hal yang belum dilakukan terkait penanganan isu toleransi di Kotanya.
Beberapa inovasi yang mungkin dapat dilakukan pemerintah Kota untuk mengubah posisi skor dalam IKT tahun depan atau tahun tahun berikutnya dapat merupakan gagasan yang perlu dibangun dari bawah dengan melibatkan stakeholder terkait di Kota bersangkutan. Diperlukan adanya kesepahaman pihak pihak yang berkepentingan.
Merujuk pada format penilaian yang dilakukan Setara maka seyogianya pengelola pemerintahan Kota mengambil langkah langkah koordinatif antar fungsi kelembagaan yang ada. Baik unsur pemimpin politik di berbagai partai yang dapat direpresentasi oleh pemain legislatif di DPR-Kota maupun pemimpin birokrasi yang ada di pemerintahan yang dapat direpresentasi tentunya oleh Walikota dan perangkat di bawahnya. Tentunya disamping itu adalah pemimpin masyarakat yang ada di berbagai simpul organisasi kemasyarakatan dan para tokoh publik yang dekat dengan media.
Intinya diperlukan adanya kesamaan pandangan diantara stakeholder utama terhadap inisiatif penguatan image positif Kota dalam menjastifikasi kondisi dan masa depan Kota yang bebas dari preferensi disharmoni dan diskriminasi. Baik terkait isu agama, ekonomi, etnis dan sosial budaya. Perencanaan dan penganggaran secara terukur dan berkelanjutan tentu saja merupakan bagian tak terpisahkan dari langkah terkoordinasi tersebut.
Pemerintah Kota dapat membentuk task force khusus lintas sektor yang day to day mengelola tema toleransi dan mengeliminasi isu isu potensial terjadinya disharmoni dan diskriminasi warga Kota. Task force ini tentu juga perlu secara cerdas mengelola tampilan performa Kota Toleran di media.
Terkait ketepatan perencanaan dan pelaksanaan gagasan dan langkah pencapaian output Kota Toleran tahun berjalan tentunya pemerintah Kota perlu meminta masukan (input) para ahli dengan melibatkan perguruan tinggi, praktisi dan lembaga swadaya masyarakat. Meminta sharing pengalaman sukses dari Kota lain, misalnya Salatiga, Singkawang, Semarang, Magelang, dan Pematang Siantar – untuk menyebut lima Kota penghuni list teratas IKT 2024 dengan skor rata rata diatas enam koma – adalah juga satu pendekatan yang produktif.
Dengan strategi inovatif pengelola pemerintahan Kota tentunya masyarakat Aceh berharap setidaknya dalam dua tahun kedepan, dalam IKT 2026 atau IKT 2027 ketiga Kota di Aceh diatas akan keluar bersih dari daftar sepuluh Kota di Indonesia yang tingkat indeks toleransinya rendah. Juga berupaya menahan kemungkinan akan ada Kota lainnya di Aceh terjerembab masuk dalam jurang IKT rendah di masa mendatang.
Kita percaya dan cukup meyakinkan bahwa masyarakat Aceh toleran. Demikian juga warga pendatang baik yang berdomisili lama maupun wisatawan yang datang sementara -- dari berbagai latar belakang bangsa, etnis, status sosial, budaya, dan agama -- merasa aman dan nyaman berada di Aceh.
Untuk ini kita punya bukti bukti historis dan “pengakuan manis” yang dijastifikasi dalam format milik kita sendiri. Tetapi tanpa eviden yang memadai, yaitu bukti fisik sesuai indikator yang dinilai, yang dapat diakses dari sumber sumber resmi dan secara terbuka, maka jastifikasi kita tidak dapat diterima.
Bravo Aceh toleran dan tak ada Kota perlu bertahan dalam daftar bertolerasi rendah. Wallahu a’lam. <saifuddin.rasyid@ar-raniry.ac.id>
