-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Seumaloe Aceh Dalam Energi Damai

Kamis, 17 Juli 2025 | Juli 17, 2025 WIB Last Updated 2025-07-17T10:35:36Z

 


Oleh Saifuddin A. Rasyid

(Akademisi UIN Ar-Raniry, Bendahara ICMI Aceh)

Al-Rasyid -- Sebut saja abangda JFH, seorang aktifis masyarakat dan pengusaha griya dan kuliner di Banda Aceh, di celah diskusi kecil beberapa tokoh ICMI Aceh di resto Kuala Village Banda Aceh, menyebut alasan mengapa “harus” Mualem menjadi gubernur Aceh? Diskusi ini terjadi jauh sebelum pilgub Aceh tahun 2024. JFH menjawab sendiri, “karena pada Mualem ada seumaloe”. “Kepemimpinan Aceh perlu seumaloe”, lanjutnya. Tentu masing masing cendekiawan yang mendengar pernyataan JFH itu mempunyai pandangan sendiri. Tidak ada komentar lebih jauh soal itu karena rapat pengurus ICMI sore itu sedang membicarakan bukan tema politik.


Malamnya saya berpikir soal seumaloe ini. Saya lihat di inbox ada pesan WA masuk dari JFH, masih mengenai jaringan spirit untuk mendukung pencalonan Mualem. Saya menjawab WA itu, “kita pertimbangkan”. Sejauh saya bukan politisi, ya saya jawab, tapi datar. Saya pelajari dalam diam makna seumaloe dan apa seumaloe Mualem untuk negeri ini.


Hasan Basri M. Nur (HBN), akademisi FDK UIN Ar-Raniry, dalam opininya yang sudah lumayan lama di Serambinews.com, 28 April 2018, memberi pengertian seumaloe, meski terkesan irasional tapi secara saintis, benar. HBN menjelaskan bahwa dalam budaya Aceh peristiwa menjinakkan satu benda dengan memanfaatkan benda lain itu disebut seumaloe. Dengan kata lain, tambahnya, seumaloe adalah satu tindakan dengan memanfaatkan benda tertentu untuk melemahkan, melunakkan, atau mengalahkan benda atau peristiwa lain.


Beberapa contoh seumaloe, seperti juga diangkat HBN, akrab di masyarakat kita. Tembakau seumaloe untuk lintah yang menghisap darah manusia. Ular dapat dilumpuhkan dengan pelepah rumbia. Buaya dapat dikalahkan dengan batang pucuk pelepah pohon nipah. Mata kanan perih kena cabai siram air ke kaki kiri, begitu sebaliknya. 


Pengertian seumaloe kemudian berkembang secara negatif ke dunia bisnis dan politik, bahkan dunia kerja dan pendidikan. Seseorang menginginkan anaknya masuk sekolah pavorit, sulit bersaing, maka cari backing. Seumaloe. Untuk memenangkan proyek cari ordal, seumaloe. Untuk memenagkan perkara tempel hakim curang, seumaloe. Untuk menjadi sedikit polisi di tengah banyak calon pesaing cari seumaloe. Intinya untuk memenangkan persaingan dalam perspektif negatif ini, harus cari seumaloe.


Seumaloe Aceh


JFH sepertinya tak berlebihan. Pada diri Gubernur Mualem memang ada seumaloe. Terlepas dari beberapa terobosan yang belum berhasil, kembalinya empat pulau di Singkil ke pangkuan Aceh belum lama ini, itu sepertinya ada kaitannya dengan seumaloe Mualem. Kasus tanah wakaf Blang Padang, yang sejak 2003 dikelola TNI, dari preferensinya yang kuat insyaallah juga akan segera kembali ke Nazir Mesjid Raya Baiturrahman atas penguatan usulan resmi pemerintah Aceh melalui surat gubernur Mualem. PJ Gubernur sebelum Mualem yang sudah bergerak tetapi tanah wakaf itu tak tampak bergeming. Bersama Mualem ada akumulasi energi yang diperhitungkan pihak luar dan potensial dapat digunakan untuk menguatkan dalam negosiasi Aceh, dan ini seumaloe Aceh.


Beberapa isu besar lain yang sudah terangkat ke permukaan, seperti bendera Aceh, perpanjangan dana otsus untuk selama lamanya termasuk khususnya untuk mendorong Aceh keluar dari stigma termiskin di sumatera, investasi pabrik dan proyek pro rakyat penampung tenaga kerja, penguatan landasan dan masa depan pendidikan Aceh dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, pemantapan penerapan sistem syari’ah dalam ekonomi, budaya, transaksi politik dan penguatan SDM Aceh khususnya generasi muda. Semua itu tampak ada harapan bergerak lebih cepat dengan seumaloe Aceh ini.


Narasi Damai

Belajar dari narasi yang berkembang dalam isu empat pulau yang lalu, Jakarta tampak sangat berhati hati. Aceh adalah aset bangsa. Kelihatannya sudah disadari keliru, bila dulu ada ungkapan oknum Jakarta yang menyakitkan perasaan warga Aceh, bahwa Indonesia butuh tanah Aceh tak butuh orang Aceh. Ini keliru dan sudah dikoreksi. 


Beberapa tokoh nasional tegas memperlihatkan keberpihakan untuk membela hak hak Aceh. Sebut saja misalnya Wapres JK, Presiden SBY, mereka adalah dua tokoh nasional yang terlibat langsung dalam meletakkan pondasi damai Aceh. Seperti tokoh tokoh nasional lain yang merasakan denyut perjuangan masyarakat Aceh dalam bingkai NKRI, mereka menyadari dan mencatat dengan baik peran Aceh dalam kemerdekaan dan pembangunan Republik Indonesia. Karena itu mereka terluka bila Aceh dilukai.


Kesadaran nasional bangsa ini sudah terbentuk bahwa Aceh memiliki kekuatan. Bukan hanya sebagai daerah modal yang menyediakan diri untuk all out dalam masa masa awal kemerdekaan RI, tetapi juga kesadaran akan semangat warga Aceh dalam membela hak hak mereka. Yaitu kekuatan yang tersimpan dalam bingkai sejarah panjang sejak Islam masuk melalui Aceh ke nusantara dan akumulasi peran ulama di tengah masyarakat.


Hal ini memang menjadi energi Aceh dan modal yang kuat dalam upaya berdiri tegak sejajar sebagai bagian penting dari negara bangsa ini. Tetapi Aceh tetap perlu berhati hati untuk tetap merawat modal ini. Energi sesuai hukumnya tidak statis tetapi dinamis. Dia akan bergeser bila ada daya desak kekuatan lain yang bergerak teratur dan menekan lebih kuat secara terus menerus sampai jarum masuk dengan sempurna, lalu benang tinggal bergerak mengikuti. 


Perlu berhati hati terhadap kemungkinan ada kekauatan yang secara terencana dan proaktif bergerak untuk melemahkan. Juga perlu berhati hati terhadap kemungkinan Aceh akan kehilangan generasi pejuang karena larut dalam kebiasaan dan kemajuan hidup “ala senetron korea”.


Nanti akan terjadi, bila tidak, entah kapan waktunya, bisa segera atau masih sangat lama. Seumaloe hilang. Bila Aceh lengah maka damai akan jalan sepihak, berjalan miring karena satu dari dua rodanya kempes. Pada saat itu kita hanya akan menjustifikasi pelayanan pihak lain sebagai apresiasi impact buah damai yang berhak kita terima. 


Adagium yang diangkat kembali oleh sosiolog terkemuka USK, Prof Humam Hamid, “rencong kiri kanan dompet bisa hilang”, sepertinya masih aktif hidup dalam rumor budaya yang berpengaruh pada pembentukan kebiasaan sosial generasi kita. Adagium lain, “Aceh warisan raja karena itu kita berhak menikmati selera sultan”. “Aceh ceubeuh”, “ini Aceh, kau tahu?”, dan banyak adagium lain yang berpeluang meninabobokan kita dan generasi muda kita. Untuk damai kita sudah dipuji, dan sudah diberi. 


Dalam simulasi analisis peran, kita harus tahu apa yang kita inginkan dari pihak lain, dan kita juga perlu tahu apa yang mereka inginkan dari kita. Juga kita perlu tahu apa yang kita berikan ke mereka dan apa yang akan kita terima dari mereka.


Narasi damai yang sesungguhnya adalah kesetaraan, persamaan (equality). Dua roda berjalan bersamaan. Mari kita pompa kepentingan kita, kita rawat damai kita. Selamat 20 Tahun Damai Aceh. Wallahu a’lam. <saifuddin.rasyid@ar-raniry.ac.id>

×
Berita Terbaru Update