Oleh Saifuddin A. Rasyid
(Imumsyik Mesjid Jamik Baitul Jannah Tungkop Darussalam, Bendahara ICMI Aceh)
Al-Rasyid • Bumi Aceh menderita, hampir tigapuluh tahun lamanya. Konflik berkepanjangan terus menerus sejak 1976 saat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dibentuk 4 Desember 1976, sampai tercapai perjanjian damai Helsinki 15 Agustus 2005. Diperkirakan lebih 15 ribu warga Aceh menjadi korban tewas akibat konflik (Wikipedia) dan ratusan ribu mengungsi dalam rentang waktu itu. Ini hanya perkiraan angka angka yang terlihat diatas kertas. Korban immaterial lainnya tentu jauh lebih dahsyat dari itu.
Rumah rusak, sekolah terbakar, kendaraan pecah, sawah ladang terbegkalai, ternak tak terurus, pesantren sepi, masjid kosong, geliat pasar tak bersemangat. Itu semua masih bisa dihitung, ada angkanya. Tetapi rasa takut yang menggelayut pada jiwa berganti generasi, semangat belajar turun ke titik nadir, produktifitas masyarakat melemah, kesehatan rusak, silaturrahmi retak, persatuan warga koyak, pengajian anak anak dan remaja di meunasah dan masjid hilang, malam sepi tanpa tanda kehidupan. Dalam waktu yang panjang. Itu kemerosotan sistem sosial, yang porakporanda. Sudah terjadi dan berdampak jangka panjang. Tak sanggup dihitung berapa harganya. Termasuk kasus pelanggaran HAM yang tercatat lekat dalam tinta sejarah di urutan daftar kasus HAM internasional.
Amanah Syuhada
Suatu sore pada sekira pertengahan tahun 1988 di mushalla Sektor Timur Kopelma Darussalam, saya sedang menyapu lantai untuk persiapan shalat magrib. Saya tinggal di mushalla itu, saya berkhidmat sebagai khadam. Ada rasa gelisah tetapi saya tidak tahu penyebabnya. Saya membelakangi pintu samping utara mushalla yang terletak dekat sumur terbuka sambil menyapu lantai dengan cara memutar mutar sapu seperti gaya seseorang sedang memukul bola golf atau gaya petani membabat rumput dengan sebilah arit bergagang panjang.
Saya dikejutkan oleh suara yang sangat akrab di telinga saya, “kalau begitu cara menyapunya sampah didepan pindah ke belakang”, sambil terdengar tertawa kecil. Tapi beliau ucapkan dalam bahasa Aceh khas Aceh Besar yang kental. Sontak saya mutar dan melihat benar sosok berwibawa putih tinggi berjenggot lebat, sedang bersandar di kusen pintu penuh menutupi pintu yang saya belakangi itu. Saya mendekat menyalami mencium tangannya. Sambil bertanya “Bapak datang sendiri?” – karena biasanya sore sore begitu sesekali pergi dengan ibu – saya lirik ke kiri saya lihat mobil beliau Suzuki Carry putih terparkir di tepi jalan depan rumah Bapak Nurdin Sufi.
Maaf pembaca, sambil menulis kalimat ini air mata saya sedikit tergenang. Saya mengingat sosok dan jasa beliau ke saya, jasa beliau ke UIN Ar-Raniry, jasa beliau ke dunia pendidikan tinggi di Aceh, jasa beliau ke pembangunan ekonomi syari’ah melalui gagasan zakat produktif, jasa beliau ke ICMI selaku cendekiawan, dan jasa beliau yang sangat banyak untuk diingat. Beliau kemudian menjadi salahsatu syahid meninggal dunia saat membuka pintu rumahnya di komplek perumahan pejabat IAIN Ar-Raniry – saat itu IAIN, belum UIN -- untuk memberi jalan secara hormat khas beliau bagi dua orang tamu yang datang pagi itu. Dua tamu “tak dikenal” itu dari jarak yang sangat dekat, di pintu rumah yang baru beliau buka, langsung melepaskan tembakan. Beliau Roboh di pagi yang indah menemui ajalnya pada Ahad pagi 16 September tahun 2000. Prof Safwan Idris, rektor IAIN Ar-Raniry wafat sebagai syuhada. Beliau berpulang sebagai salahsatu syuhada diterjang peluru konflik Aceh kala itu. Allahumma-ghfir lahu.
Kembali ke cerita sore diatas, yaitu 12 tahun sebelum beliau syahid. Beliau tak melepas tangan sejak saat saya menyalami dan saya ciumi tadi, terus bergandengan sampai kami duduk di balai kecil bagian belakang mushalla itu. Depan kamar saya dekat dapur bawah pohon jambu putih. Dengan kalimat beliau yang sangat santun, keluar teratur dan berhati hati, sambil memperhatikan mata saya yang kelihatannya beliau tangkap, sangat galau. Tapi saya sangat focus mendengarkan. Beliau minta tiga hal; pertama, jangan perlihatkan sikap perlawanan terhadap keadaan yang sedang memanas, “bila melihat ada gelombang besar jangan melawan tapi bergeserlah ke samping”. Kedua, “selesaikan skripsi”. Memang skripsi saya sudah tertunda lebih dua bulan di bab dua, tidak punya ide, tidak bisa menulis. Prof Safwan tertawa nyaris terbahak khlas beliau ketika saya sampaikan “masih bab dua”. “Hehehe, dua bulan lalu juga bab dua”, kata beliau. Ketiga, kata beliau, “segera keluar dari Aceh setelah sidang skripsi.
Malam itu saya tidak bisa tidur setelah mendapat tiga tugas dari sang guru yang sangat kita hormati bersama itu. Keluar dari kamar pindah ke ruang shalat disisi kanan sajadah imam, saya rebahkan mimbar. Saya letakkan dalam posisi miring, agar mimbar berbentuk petak lurus dengan bahan utama tripleks itu bisa saya gunakan sebagai meja belajar, untuk menulis, karena di kamar tidak ada meja. Saya mengejar skripsi saya. Dalam diam sesuai amanah Prof Safwan. Energi saya terpompa sangat baik, walau kadang mandi hanya sekali sehari, bila ada, dan makan tak teratur. Duabelas hari selesai, lima hari tulis tangan tujuh hari saya ketik. Di meja “ala mimbar miring” mushalla Sektim itu, dalam rasa takut yang sudah mulai menggelayut dan mulai sedikit waswas, saya selesaikan skripsi saya. Sidang dalam tekanan energy yang penuh, full speed. Alhamdulillah dalam kemudahan pembimbing, Bapat Syahbuddin Mahyiddin dan dekan Fakultas Adab, Bapak A. Gani Sulaiman, saya lulus tanpa perbaikan.
Eksodus Spirit Hijrah
Tak menunggu wisuda, tak mengambil ijazah. Sesuai amanah guru dengan cepat saya keluar dari Aceh. Saya bukan salah satu dari hihak yang berkonflik tetapi mahasiswa aktifis yang potensial bisa terjepit di tengah konflik. Hal ini sesuai yang disampaikan Prof Safwan, sudah ada tanda tanda kemungkinannya. Beberapa aktifis sudah “hilang” tidak diketahui, dan beberapa mendapat hadiah penjara. Kala itu menjelang ditetapkan Aceh Daerah Operasi Militer (DOM) 1989, suasana sudah tidak menentu. Orang bisa terjebak dengan hanya sekedar telunjuk iseng seseorang. Ya namanya sudah seperti daerah perang, mana ada sempat orang menghitung satu sampai sepuluh. Harus cepat ambil keputusan, menghindar.
Menderita di kampng orang, seperti juga para pengungsi konflik yang eksodus, tak punya pilihan. Hidup harus terus berjalan. Bagi yang merniat “hijrah” mungkin sedikit terhibur dan dapat memetik semangat dan pelajaran dari hijrahnya kaum muslimin bersama Rasulullah SAW dulu. “Niatkan hijrah”, demikian yang saya ingat dari amanat sang guru sore itu. “jaga diri dan martabat Aceh”, demikian tambah beliau lagi, lalu pergi.
Di Jakarta dan sekitarnya, seperti saya lihat kala itu, banyak “kaum muhajirin Aceh” menemukan jalan mengembangkan diri dan membangun ekonomi. Meunasah Aceh di beberapa sudut Jabodetabek yang dikelola Taman Iskandar Muda (TIM) ramai dikunjungi warga Aceh termasuk yang baru dan terus ada yang datang. Begitu juga saya lihat – seperti di Pasar Minggu Jakarta -- di Pasar Minggu Chaukit Kuala Lumpur, ramai warga Aceh, dan begitu juga di kawasan lainnya di Malaysia. Begitu dii belahan daerah lainnya di Indonesia.
Orang Aceh menonjol di luar. Menonjol dalam kebaikan bagi yang berniat dan berperilaku baik -- maaf, kalau kita mau mencerikan yang kurang baik juga banyak. Kuliner dan budaya Aceh secara bertahap makin akrab bagi warga lokal setempat. Komunikasi keluarga Aceh dengan intens, dari meminta belimbing buluh dan daun teumeurui yang khas tumbuh d depan rumah rumah tinggal orang Aceh sampai menjadi marbot, imam dan khatib di mejid. Warung mie Aceh, kopi Aceh, makin banyak makin digemari. Orang Aceh yang buka pengobatan alternatif dan kedai obat juga lumayan terkenal di luar.
Dalam 20 tahun eksodus dengan spirit hijrah yang saya saya lakukan, dan kemudian bersama keluarga sejak 1988 sampai 2007 itu -- seperti do’a yang sang guru bisikkan ke saya saat beliau memeluk saya dan mengakhiri pertemuan singkat sore itu, saya mendapat peluang melanjutkan kiprah di bidang yang berbeda dari kebanyakan pengungsi konflik Aceh, di Jakarta. Dari selaku peneliti, pelatih dan pendamping masyarakat, aktifis LSM dan pengelola proyek pemberdayaan, pengurus organisasi kemasyarakatan, pengurus masjid/ marbot-imam-khatib, sampai pengajar tetap di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sebelum mutasi permanen ke UIN Ar-Raniry tahun 2010.
Jihad Fi Sabilillah?
Disisi lain bagi yang tidak memilih hijrah ke luar, maka kala itu di Aceh warga hidup dalam berbagai keadaan di tengah konflik. Ada yang normal saja, banyak yang tidak bisa terlalu banyak bicara, ada yang menjalani suratan takdir sebagai penghuni penjara, dan ada yang tentunya meninggal dunia dalam berbagai kondisi ala konflik bersenjata.
Atas pengorbanan mereka kiranya Allah mencatat kebaikan sesuai niat mereka masing masing. Yang meninggal oleh asbab konflik bersenjata – karena bernait dalam format “jihad fisabilillah’ kiranya Allah beri imbalan syuhada, Allah hibur dan mempermudah perjalann mereka ke syurga. Kiranya Allah tidak menggolongkan mereka sebagai mati sia sia hanya karena niat dan cara yang menyimpang dari agama. Kiranya Allah mudahkan juga pertanggungjawaban di mahkamah Allah nanti bagi mereka yang dengan segaja menghilangkan nyawa orang lain untuk kepentingan dan dengan cara yang tidak diizinkan oleh agama, karena Allah mengatakan bahwa siapa saja yang terlibat membunuh satu nyawa orang beriman dengan cara tidak hak maka sama seperti membunuh semua manusia di muka bumi, dan itu mahal tidak gratis, ada pertanggung jawabannya (Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 32). Maka bertaubatlah sesuai prosedur agama atau bersiaplah menghadapi pengadilan Allah bagi siapa yang melakukan dan menyadarinya.
Bersempena dua dekade Aceh Damai kita kenang para syuhada konflik, mari kita rawat damai Aceh dengan baik sebagai amanah warisan untuk kita teruskan ke anak cucu kita. Wallahu a’lam. <saifuuddin.rasyid@ar-raniry.ac.id>
