Oleh Saifuddin A. Rasyid
(Pegiat Moderasi Beragama dan Akademisi UIN Ar-Raniry)
Al-Rasyid.id | Kala itu baru sepuluh tahun perjalanan Aceh senyap dalam damai pasca Mou Helsinki, tetiba kita dikagetkan oleh satu tragedi. Ya tragedi toleransi beragama yang pecah pada Selasa 13 Oktober 2015 di Aceh Singkil. Masih kuat dalam ingatan kita – karena juga terpatri dalam sejumlah tulisan dan laporan yang sangat mudah kita baca -- hari itu ratusan orang melakukan aksi mendatangi desa Suka Makmur, membongkar dan membakar gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) di desa itu. Lalu massa lanjut ke desa Dangguran dan terjadi bentrok di sana, menyebabkan satu orang peserta aksi tewas.
Tragedi yang sempat mencoreng wajah indahnya damai Aceh itu terpicu oleh ketidakpuasan warga muslim terhadap kesepakatan pemerintah dengan masyarakat terkait langkah penertiban gereja tak berizin. Warga bergerak lebih cepat dari langkah pemerintah setempat yang terkesan lamban membaca preferensi warganya.
Dalam bukunya Moderasi Beragama (tanggapan atas masalah, kesalahpahaman, tuduhan, dan tantangan yang dihadapinya: Mei 2022) Lukman Hakim Saifuddin (LHS) menulis chapter khusus megenai tragedi Singkil itu setebal sekira sepuluh halaman. Dalam uraiannya LHS mengaitkan langsung dengan peraturan bersama menteri (PBM) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.
PBM itu diantaranya mengatur tatacara perizinan pendirian rumah ibadah, yang sepatutnya menjadi pegangan bagi pemerintah daerah dan warga masyarakat agar tidak terjadi main hakim sendiri. Tragedi itu sejatinya tak perlu terjadi. Namun LHS, mantan Menteri Agama RI tersebut, mengakuinya sendiri bahwa PBM itu tak tersosialisasi secara gencar. Memang patut disayangkan, kita punya peraturan tetapi tak kita jalankan.
Qanun 4/16 dan Ruang Evaluasi
Pasca tragedi itu di Aceh keluar qanun khusus nomor 4 tahun 2016 tentang pedoman pemeliharaan kerukunan umat beragama dan pendirian tempat ibadah. Qanun yang memang diniatkan bukan hanya unrtuk merespon tragedi Singkil diatas tetapi juga untuk mengatur hubungan harmonis umat beragama secara baik kedepannya. Ini satu upaya baik yang dijalankan pemerintah dan tentu patut mendapat apresiasi.
Namun setelah hampir sepuluh tahun kiprah Qanun ini di lapangan ternyata dicatat masih menyisakan beberapa persoalan yang ditengarai masalah ini bukan hanya jalan di tempat tetapi bahkan berpotensi menimbulkan masalah baru. Menarik, satu LSM terkemuka mewakili masyarakat sipil di Aceh menggelar satu diskusi diseminasi gagasan evaluasi Qanun nomor 4 tahun 2016 tersebut Jum’at 8 Agustus lalu di Banda Aceh. Beberapa poin dibawah ini menarik kita garisbawahi.
Pertama, tidak ada rumah ibadah non muslim berhasil memperoleh izin untuk diperbaiki atau didirikan sejak Qanun itu berjalan. Padahal di lapangan dilaporkan terjadi berbagai kebutuhan dan kondisi tempat ibadah bagi non muslim, khusus bagi penganut Kristen, di beberapa lokasi di Aceh, akibat ketiadaan rumah ibadah yang representatif untuk mereka.
Kedua, ketentuan qanun yang mengharuskan ada 140 warga pengguna rumah ibadah dan dukungan tertulis 110 warga non pengguna (dari penganut agama berbeda) untuk satu lokasi tertentu disinyalir menjadi satu sebab sulitnya non muslim dapat memenuhi syarat untuk mendapatkan perizinan. Sebagai perbandingan PBM nomor 9 dan 8 tahun 2006 mensyaratkan 90 pengguna lengkap dengan dokumen identitas dan dukungan dari 60 non pengguna untuk mendapatkan perizinan pendirian rumah ibadah.
Ketiga, terkait tempat ibadah sementara bagi non muslim dalam PBM 9 dan 8 tahun 2006 disebutkan, dalam hal syarat 90 dan 60 diatas tidak dapat dipenuhi, maka menjadi tugas pemerintah untuk menyediakan tempat ibadah sementara. Butir ini sepertinya tidak cukup akomodatif dalam qanun 4/16. Bahkan disinyalir Pergup Aceh nomor 25 tahun 2007 malah lebih sempurna mengatur tempat ibadah sementara bagi non muslim, adalah sesuatu yang hilang dari qanun 4/16.
Keempat, qanun tersebut dicatat hanya mengatur perizinan rumah ibadah bagi non muslim (pasal 19), sementara judul qanun tidak secara eksplisit menyebut secara khusus untuk mengatur perizinan rumah rumah ibadah bagi non muslim. Padahal proses pendirian masjid dan mushalla juga berpotensi tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya konflik internal kelompok muslim. Ingat kejadian di Sangso Samalnag Bireuen 6 September 2022 yang terjadi terhadap tempat ibadah milik Muhammaddiyah. Tampaknya qanun ini tidak dapat digunakan dalam penyelesaian konflik tersebut?
Untuk kita catat – seperti juga dikhawatirkan oleh seorang peserta diskusi Jum’at siang itu -- bahwa tragedi Singkil itu dapat saja berulang, bukan saja di Singkil tetapi mungkin juga di tempat lain. Tahun 2021 Setara Institute mencatat nol kejadian intoleransi di Aceh, tetapi September 2022 kejadian di Sangso Samalanga. Buku LHS tidak memasukkan cerita Sangso karena bukunya keluar lebih dulu pada bulan Mei 2022.
‘Ala kulli hal bberapa hal terkait masalah ini tampaknya penting mendapat perhatian kita dan doperlukan adanya kajian ulang, termasuk bila qanun 4/16 itu berpeluang dievaluasi dan direvisi. Karena disamping ada hal hal yang tentunya perlu penajaman, qanun ini juga disebutkan (tidak ada?, atau) belum ditemukan kajian akademik pra-penyusunannya.
Toleransi Negeri Syari’at
Menghadapi perkembangan, kebutuhan dan kecenderungan baru sebuah qanun itu tentu dapat saja direvisi. Terutama untuk memfasilitasi hal hal yang sebelumnya dirasa belum terakomodasi. Namun arah dan caranya penting sesuai dengan dasar dan orientasi formal yang dikehendaki.
Guru Besar Hukum USK, Prof Azhari Yahya, mengingatkan bahwa Aceh disamping menerapkan asas umum aturan hukum juga perlu memperhatikan kekhususan. Kekhususan itu adalah syari’at Islam, UU PA dan perangkat hukum lain yang diterapkan secara khusus di Aceh.
Terkait toleransi Azhari mencontohkan dua Negara tetangga yang berbeda. Filipina dan Malaysia. Filipina samasekali tidak mengurusi urusan agama. Sebaliknya Malaysia menetapkan hanya satu agama, Islam, dan mengurusinya sebagai agama resmi Negara. Itu konstitusional. Tapi di Indonesia semua agama resmi difasilitasi (bukan dicampuri) oleh Negara.
Dua hal berikut ini penting kita perhatikan. Pertama, bahwa revisi qanun 4 tahun 2016 adalah keniscayaan – bila ternyata ada kebutuhan -- yang disandarkan pada ketentuan perundangan dan peraturan terkait nasional, dan ketentuan khusus terkait yang berjalan di Aceh. UU PA dan Qanun syari’at Islam diantaranya.
Kedua, Bahwa Aceh sebagai daerah berpenduduk signifikan muslim (total penduduk muslim sekitar 5,4 juta atau 98 persen dari 5,5 juta penduduk: data Kemenag). Meskipun demikian hal ini tidak menghalangi perlunya mengakomodasi dan memfasilitasi kebutuhan minoritas pemeluk agama lainnya. Tidak hanya sebagai langkah untuk mempromosikan keharmonisan dan kenyamanan hidup bersama tetapi juga sebagai bukti Aceh toleran dan menjadi inspirasi untuk dihargai dan dibarter oleh daerah lain di Indonesia yang berpenduduk minoritas muslim.
Namun terkait kekhususan Aceh tentu diperlukan ruang yang jelas bagi memungkinkan non muslim dapat berkiprah dan menjalankan agama mereka, tentunya dengan ketegasan tanpa merusak kekhususan Aceh. Adalah keciscayaan ada jalan bagi non muslim yang dapat bertetangga secara baik dengan warga muslim sejauh tidak bergerak secara agresif saling menyebar pengaruh kepada warga pemeluk agama lainnya.
Bersempena memperingati dua puluh tahun damai Aceh, maka hendaknya ini kita jadikan momentum yang tepat untuk mengangkat tema toleransi ini dan mendiskusikan kembali qanun 4 tahun 2006 dan perangkat ketentuan hukum pendukung ainnya yang memungkinkan sikap dan perilaku toleransi warga pemeluk agama dapat berjalan baik.
Islam adalah agama yang mempromosikan kedamaian. Dalam banyak ayat Alquran dan sepanjang sejarah perjalanan hidup Rasulullah SAW nilai nilai damai dapat selalu ditemukan. Sikap damai Nabi dan para sahabatnya ditunjukkan bukan hanya ketika beliau susah hidup dalam himpitan mayoritas sistem kepemimpinan dan dominasi Qurasy di Makkah tetapi juga ketika beliau memimpin di Madinah.
Penyebaran Islam ke berbagai pelosok negeri di dunia berjalan atas dasar prinsip damai. Tidak dengan pedang. Perang hanya terjadi dalam kondisi tertentu yang sangat selektif, tentunya atas perintah Allah sendiri. Prinsip “majority roles minority right”, terjadi dengan baik sepanjang sejarah kepemimpinan kaum muslimin. Hak hak kaum minoritas tetap dijaga, termasuk hak mereka untuk menjalankan agama.
Di Madinah pernah terjadi, Nabi SAW melindungi seorang wanita tua Yahudi, yang buta. Padahal wanita itu terkesan bersikap membenci beliau. Bahkan beliau menyuapi sendiri makanan ke mulut wanita Yahudi itu. Tentunya wanita itu tidak mengenal Nabi SAW. Ini salah satu cermin sikap membela hak minoritas. Dalam referensi keilmuan Islam dijelaskan ini contoh sikap muslim dalam berinteraksi dengan “kaum zhimm”, yaitu non muslim yang akomodatif.
Tetapi beliau juga pernah mengusir yahudi (dari suku Bani Qainuqa, Bani Nazir, dan Bani Quraizhah) dari kota Madinah karena sikap agresif mereka memprovokasi kekacauan dan tidak bersikap toleran pada keadaan damai. Contoh ini menginspirasi cara muslim menghadapi “kaum harbi”, yaitu non muslim yang agresif menyulut pertentangan, “mengganggu” tetangga, dan merusak keadaan damai.
Kedua contoh diatas tentu saja perlu menjadi inspirasi dalam kita membangun toleransi dengan pendekatan empat indikator moderasi beragama. Termasuk menjadi nadi dalam langkah revisi qanun nomor 4 tahun 2016. Tentu saja sikap ini, sejauh bertujuan untuk menegakkan perilaku harmoni dan melanggengkan kedamaian di tengah masyarakat, tidak dapat diklaim diskrimatif. Prof Azhari bertanya kepada audiens, apakah dengan itu, misalnya Malaysia dengan kebijakan satu agama resmi dan melindungi warga beragama selain Islam, itu dapat disebut diskriminatif? Beliau menjawab sendiri, tentu tidak.
Untuk tujuan baik, untuk hubungan antar kelompok antar budaya dan antar pemeluk agama yang harminis, mari kita melangkah. Melangkah dengan kepastian dasar hukum dan dasar nilai yang kita punya di Aceh. Yaitu Alquran dan Sunnah Nabi SAW sebagai dasar hukum utama, Pancasila dan UU terkait yang berlaku sebagai dasar hukum umum, dan UU PA dan Qanun Syari’at Islam sebagai dasar hukum khusus. Segenap pihak perlu mengapresiasi ini. Wallahu a’lam.
