-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Duapuluh Tahun Damai, Aceh Melihat Kedepan

Selasa, 12 Agustus 2025 | Agustus 12, 2025 WIB Last Updated 2025-08-12T10:03:43Z

 


Oleh Saifuddin A. Rasyid

(Akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh)


Alrasyid.id | Diskusi publik refleksi 20 tahun damai Aceh yang diselenggarakan di UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Selasa 12 Agustus 2025 mengambil tema “menavigasi tantangan, mengawal otonomi, dan merumuskan masa depan”, mendapat perhatian luas. Ratusan peserta hadir memadati ruangan teater gedung museum UIN Ar-Raniry, dan aktif mengikuti sesi materi diskusi dengan antusias.


Menampilkan narasumber tokoh berkompeten, Munawar Liza Zainal, Mawardi Ismail, dan Prof Husni Jalil, diskusi publik ini bertenaga untuk membicarakan tema berat ini dari berbagai perspektif.


Munawar Liza Zainal, seorang tokoh perunding GAM dengan pemerintah Indonesia tahun 2005 membuka perspektif historis perjuangan panjang Aceh sebelum sampai ke perdamaian melalui MoU Helsinki. Munawar menyampaikannya secara lugas detail dan berurut. Yaitu hal dapat ditelusuri dari sumber sumber sejarah perjuangan Aceh yang tersedia. Munawar mencatat ada hal hal dari MoU yang belum jalan dan dia menawarkan semua pihak kembali ke spirit awal dan substansi sesuai MoU 2005. 


Mawardi Ismail, akademisi senior Fakultas Hukum USK. Selaku tim ahli penyusunan draf RUUPA tahun 2006, mengatakan MoU Helsinki merupakan instrumen politik yang sangat penting yang bertujuan membangun perdamaian di Aceh.


Mawardi menegaskan bahwa MoU itu tidak bertentangan dengan UUD 45, dan menjadi dasar adanya kesepakatan dua pendirian — GAM dengan self government, sementara pemerintah Indonesia menawarkan otonomi — menjadi Pemerintah Aceh seperti yang kemudian dituangkan dalam UUPA


Sementara Prof Husni Jalil, tim revisi UUPA 2025 saat ini menyoroti masa depan perdamaian berkaitan erat dengan keberlanjutan dana otsus. Husni mengatakan diperlukan usulan kita secara konkrit dan perlu kita kawal dengan cara yang sesuai.


*Bukan Waktu Yang Lama*


Terlepas dari suasana diskusi publik hari ini kita sudah melewati masa dua dekade damai ini. Tentu saja kita sudah mencatat bahwa dua puluh tahun itu bukan waktu yang lama untuk membangun sistem untuk kesejahteraan berbilang generasi. Tetapi juga bukan waktu yang sedikit untuk keberhasilan meletakkan dasar dasar dan membangun visi.


Damai adalah indah sudah dipahami dengan baik dan dirasakan kepentingannya selama ini. Ini satu capaian yang tidak mudah di mana warga masyarakat berbagai kategori sudah menemukan makna hakiki dari sebuah perdamaian. Ini mahal. 


Bagi yang berpengalaman hidup di masa konflik dulu, masa damai ini adalah angugerah dari Allah swt untuk kehidupan yang baik. Begitu juga bagi generasi muda yang lahir dan besar di masa damai, tentu mereka tak dapat membayangkan betapa sulit hidup di masa konflik dahulu. Untuk ini kita syukuri.


Adalah benar kita memerlukan waktu lebih lama untuk melihat kembali hal hal yang belum terealisasi, terutama sesuai butir butir MoU Helsinki itu. Dengan kembali ke spirit awal saat MoU itu dicapai tentunya akan ditemukan hal hal esensial untuk kita kejar. 


Waktu memang sudah berbilang dekade. Kita pun bukan tidak menyadari bahwa keadaan sudah berubah bergerak sesuai waktu dan perkembangan lingkungan yang bergerak cepat. Hal ini tentu perlu kita masukkan dalam perhitungan saat kembali kita kembangkan diskusi dan negosiasi.


Menyiasati perubahan itu, termasuk perubahan generasi pemangku kepentingan politik dan birokrasi, adalah diperlukan pendekatan yang saling dibangun atas dasar perduli akan masa depan. Yaitu masa depan Indonesia dan Aceh — dengan segala perangkat khusus ketentuan dan capaian MoU — ada di dalamnya. Segenap pihak tentu diharap bersedia menggunakan “bahasa” yang sama untuk melanjutkan perjalanan damai yang sudah disepakati.


Menatap Kedepan


Para ahli sejarah yang umumnya berkutat dengan masa lalu, bila ditanya pun sepakat, bahwa setiap orang perlu menatap masa depan.


Masa lalu adalah pelajaran. Kita masyarakat Aceh — sekaligus selaku warga negara Indonesia — sudah memetik pelajaran berharga dari panjangnya masa konflik yang kita lalui. Termasuk pelajaran akan keberhasilan kita dalam negosiasi perundingan sampai tercapai MoU Helsinki.


Sebagai warga negara RI dan juga warga Propinsi Aceh, tentu kita penuh harap kepada pemerintah Indonesia yaitu pemerintah kita sendiri dan juga kepada pengelola pemerintahan daerah, baik kabupaten kota maupun propinsi, agar mempertahankan butir butir perjanjian yang sudah dicapai dan mengembangkan lebih jauh untuk kesejahteraan warga.


Kami percaya tidak ada perbedaan yang terjadi antara segenap pihak dalam visi dan agenda kecuali diucapkan dalam bahasa yang berbeda. 


Inilah harapan, sesuai yang juga diucapkan Prof Mujiburrahman, rektor UIN Ar-Raniry dalam pembukaan diskusi tadi. Bahwa dari MoU itu kita mengacu kedepan. Banyaknya masalah terkait kesejahteraan pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial budaya, dan keamanan warga negara penting menjadi prioritas kita.


Prof Mujib mengingatkan kita bahwa damai hakiki yang harus terus kita perjuangkan adalah berupa ideologi, yaitu damai yang terjadi antara manusia dengan Tuhannya, antar sesama manusia, dan antara manusia dan alam sekitarnya.


Masih jauh perjalanan kita. Masih banyak agenda yang perlu kita pecahkan. Masih banyak pula energi yang kita perlukan. 


Mari kita saling berangkul tangan. Mari menata barisan. Mari menyusun pelajaran dan capaian yang belum kita dapatkan. Mari melihat ke depan. Berjalan bersama Tuhan. 


Selamat Dua Dekade Aceh Damai. Kiranya Allah ridha apa yang kita lakukan. Wallahua’lam.

×
Berita Terbaru Update