-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Momentum Besar Estafet Imam Besar

Selasa, 12 Agustus 2025 | Agustus 12, 2025 WIB Last Updated 2025-08-13T03:58:28Z

 


Oleh Saifuddin A. Rasyid

(Imam Besar Masjid Fathun Qarib UIN Ar-Raniry, Imuem Syik Masjid Jamik Baitul Jannah Kemukiman Tungkop Darussalam Aceh Besar, dan Imuem Meunasah Barabung Aceh Besar )


Al-Rasyid.id -  Lepas sambut (handover) Imam besar mesjid raya Baiturrahman dari Prof Azman Ismail kepada Abu Paya Pasi di Banda Aceh Rabu 19 Shafar 1447/ 13 Agustus 2025 menyisakan kebanggaan dan mendapat perhatian secara luas. 


Daya tariknya momentum ini setidaknya kepada empat hal. Pertama, kepada sosok Abu Paya Pasi. Beliau ulama sederhana, kharismatik dan terkemuka di Aceh. Kehadiran dan kata kata beliau yang mengandung ilmu dan hikmah selalu dinanti oleh masyarakat dimanapun beliau singgah. Dari ketawadhu’an beliau masyarakatun mengharap berkah. Beliau bukan tokoh yang suka menolak ditemui tetapi selalu masyarakat selalu merasa kurang waktu untuk bertemu.


Kedua, sosok Prof Azman Ismail. Ilmuan kampus (UIN Ar-Raniry) yang mendedikasikan diri demikian lama selaku imam besar mesjid raya Baiturrahman. Beliau tergolong ulama penyabar, santun dalam sikap. Tak banyak kata banyak senyum, dan senyumnya mampu berbicara. Saya pernah disenyumi dan saya tahu maknanya. Suaranya terdengar dan selalu dinanti bukan hanya melalui mimbar mesjid Raya Baiturrahman tetapi juga di kampus.


Ketiga, mesjid Raya Baiturrahman sendiri memiliki daya pikat luar biasa sebagai ikon Propinsi Aceh. Rumah Allah satu ini terbukti kokoh berdiri dari beberapa terjangan sejarah. Pernah dibakar, dibangun kembali, tetap berdiri survival di tengah tsunami. Bahkan mesjid ini pernah menjadi saksi kematangan heroik rakyat Aceh saat seorang pejuang mengeksekusi Kohler, pemimpin agresi Belanda, di bawah satu pohon dalam kompleks mesjid ini. Cuman sayang pohonnya sudah ditebang untuk pengembangan area masjid.


Keempat, sikap Mualem sendiri. Ada pertanyaan di benak kita mengapa Gubernur Mualem memilih Abu Paya Pasi? Tapi anehnya tidak ada pertanyaan mengapa bukan yang lain? Juga tidak ada pertanyaan di mengapa tidak terus saja dengan Prof Azman? Tidak ada pertanyaan seperti itu di benak kita. Ini anugerah yang Allah tanamkan di hati dan benak kita yang bening. Ini pertanda baik. Sikap gubernur menentukan sikap dan mendekat ke Abu Paya Pasi, itu baik. Sinyal kiranya Allah akan memberikan lebih banyak kebaikan, melalui kepemimpinan Mualem, untuk Aceh kita tercinta.


Rasa ingin tahu kita ini penting tetapi tentu Mualem sendiri yang berhak menjawabnya. Bagi kita itu adalah kearifan, kearifan seorang pemimpin. Mualem sedang menjawab tetapi tidak dengan kata kata. Beliau menjawabnya dengan amal nyata. Tinggal kita jalan bersama, sami’na wa atha’na. Karena dengan cara itu Allah dengan Kuasanya, kita yakini, akan menurunkan keberkahan dan pertolongan, “yadullaaha ma’al jamaa’ati” (mafhum Hadits)


Diketahui secara luas Mualem bukanlah orang yang alim ilmu agama. Bukan seorang sarjana. Bukan juga qari internasional sekelas Takdir Feriza. Beliau orang biasa, yang berjuang dan kemudian mendapat amanah memimpin kita. Beliau sudah di puncak ketinggian dan melihat dengan jelas akan rakyatnya.


Sebagai seorang pemimpin yang mungkin “takut ketinggian” dan sadar akan kekurangan dirinya, Mualem tentu mendekat ke ulama. Mencari sandaran saat lelah, tempat berteduh tatkala penat, penyejuk dahaga ketika teriknya politik menerpa.


Mualem bagaikan seseorang yang haus akan ilmu agama. Yang mungkin menyesali masa mudanya karena langsung terjun ke medan tempur memanggul senjata dan sedikit waktu yang dimilikinya untuk mengaji. Butuh akan bimbingan seorang guru kepada dirinya, keluarganya dan rakyatnya. Ini saatnya Mualem mengaji, di masjid raya Baiturrahman dan guru yang dipilihnya adalah Abu Paya Pasi.


Tiang Utama


Seorang imam besar adalah bagaikan tiang utama di satu mesjid. Tiang ini wajib terus berdiri. Tidak boleh miring kekiri kekanan atau ke arah mata angin manapun. Tetap kokoh dalam keadaan apapun. Yaitu yang pangkalnya tertanam kuat dalam pondasi dan ujungnya menopang semua sisi, menyokong berbagai komponen bangunan masjid. Di atasnya, disampingnya, di bawahnya. Semua sumbu tertumpu pada dirinya.


Imam besar dengan akarnya yang kuat menyerap aspirasi yang bervariasi dari jamaahnya, dari masyarakatnya, dari para tokoh lintas usia, lintas gender, dan lintas kepentingan di sekitarnya. Lalu mentransfer energi melalui dirinya ke berbagai stakeholder sekitarnya. 


Prof Azman Ismail selama lebih 22 tahun mengabdi memimpin mesjid raya Baiturrahman telah terbukti menjalankan peran itu dengan sangat baik. Sejak 2003. Tahun 2004 saat tsunami adalah pengabdian yang berat, beliau terlibat dalam penyelamatan dan inisiatif kemanusiaan. Bahkan waktu keluargapun dipakai untuik berjuang, di masjid raya siang dan malam. Termasuk rumah imam masjid raya bantuan Arab Saudi dibangun kala itu.


Bagaikan bunga yang indah beliau menebar harum ke berbagai sudut dan relung hati jamaah dan masyarakatnya. Prof Azman ulama kuat dalam ilmu dan hikmah, tetapi beliau “pernah” berhati lembut saat menghadapi lingkungan yang keras. 

Tak Berkamar


Mesjid adalah bangunan tak berkamar. Tidak ada ruang untuk orang khusus. Ruangan terhampar dalam satu unit yang luas untuk dihuni oleh setiap orang, apapun status sosialnya. Tidak ada tempat spesial untuk orang tertentu. Semua berada “duduk sama tinggi berdiri sama rendah” dalam ruangan yang satu. 


Ini falsafat rumah Allah. Semua manusia adalah hambaNya. Yang hadir ke rumaNya itu memiliki status yang sama. Hanya Dia yang menentukan siapa yang dimuliakannya. Manusia tak berhak memilih siapa yang harus dimuliakan oleh Allah. Semua tunduk dalam diam menanti keputusan Tuhan. Termasuk sang imam.


Tak berkamar tetapi di lantai ruangan masjid dibuat garis untuk shaf barisan. Semua satu tujuan, setiap insan menghadap sang Ilahi yang berhak menetapkan putusan. Siapa datang lebih dulu duduk di shaf terdepan. Dia lebih dulu menarik perhatian Tuhan. Lebih dulu berhak untuk mendapat penilaian ar-Rahman. Di rumaNya itu hanya Dia yang berhak menetapka putusan. 


Di beberapa masjid pernah terjadi. Beberapa masuk media. Ada jamaah yang khilaf memaksa kehendak menetapkan “jatah syurga” untuk jamaah lainnya. Hanya karena dia kekurangan ilmu, meninggikan diri diatas saudaranya yang “abid dan ikhlas”. Atas pengaruh nafsunya yang menggelora, atas fanatisme kelompok yang buta, dia ingin segera memilih kamarnya di syurga dengan menyingkirkan suadaranya yang seakan tak berdaya. Tak punya rasa malu. Padahal Allah ada bersama mereka.


Beberapa kejadian masalalu, kekerasan terhadap sesama yang pernah terjadi di masjid masjid kita, kiranya menjadi pelajaran berharga. Tak sepatutnya kita berselisih di masjid dan saling memutuskan silaturrahim hanya karena beda organisasi, beda warna jaket dan bendera, beda judul buku (kitab) yang kita baca. Padahal kita dalam aqidah, syari’ah dan ilmu yang sama, dalam lindungan dan penilaian Tuhan yang sama. Kita hindari ini terjadi kembali di masjid manapun, dan juga di masjid raya.


Tidak Berbeda


Prof Azman yang telah memimpin etape 22 tahun sebelumnya dan Abu Paya Pasi yang datang melanjutkan estafet berikutnya adalah tokoh besar yang sama sama ada di hati masyarakat. Tidak ada yang berbeda. Keduanya sama sama ulama, sama sama berilmu dan panut di hati kita. Beliau berdua merujuk pada Al-Quran dan Sunnah Nabi yang sama, dan referensi utama dalam mengambil, ilmu pada kitab dan juga ulama yang sama.


Kalau ada yang berbeda adalah metodologi yang beliau berdua gunakan dan menyampaikan ilmu dalam ritme bahasa yang berbeda. Kalau ada beda ya gaya kedua tokoh ini yang berbeda. Termasuk juga barangkali berbeda dalam cara keduanya mengenakan pakaian. Prof Azman sesekali mengenakan pakaian berbentuk celana. Mungkin Abu Paya Pasi sering mengenakan bentuk pakaian yang berbeda.


‘Ala kulli hal tentunya kita patut melihat pergantian estafet kepemimpinan imam besar masjid raya Baiturrahman ini sebagai suatu momentum yang besar. Besar oleh karena estafet terjadi pada daua tukoh ulama dan ilmuan besar. Di masjid yang besar pengaruh sejarahnya dan besar pula harapan masyarakat Aceh tergantung padanya sebagai simbul kekokohan dan kematangan warga, dan simbul kemajuan Aceh dalam bingkai syari’ah.


Akan lebih besar lagi harapan kita bila kedua tokoh ini tetap bersama dan saling menguatkan untuk kemajuan silaturrahim dan keutuhan shaf 98 persen kaum muslimin warga Aceh dalam menghadapi makin dahsyatnya tantangan kedepan. Besar harapan kita dari kedua tokoh akan menginspirasi dan sama sama mengisi kemajuan Aceh yang bebas konflik karena beda pemahaman agama yang terakomodasi dari sumber sumber ilmu yang luas untuk kekuatan pemahaman yang utuh akan ajaran agama kita dalam payung Al-Quran dan Sunnah Nabi yang mulia.


Bersempena juga hari peringatan damai Aceh 15 Agustus, dua hari setelah lepas sambut imam besar ini dan peringatan hari kemerdekaan RI 17 Agustus dua hari berikutnya. Mari kita sambut momentum besar ini sebagai satu langkah besar untuk aceh hebat di mata manusia dan besar di mata Allah. Wallahu a’lam.

 

×
Berita Terbaru Update