-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Pilar Strategis Ketahanan Budaya Berharap Pada MAA

Minggu, 31 Agustus 2025 | Agustus 31, 2025 WIB Last Updated 2025-08-31T12:04:07Z

  

 

Oleh Saifuddin A. Rasyid


Al-Rasyid.id --- Acara ngopi tim pengurus ICMI Aceh Sabtu pagi 30 Agustus lalu sempat diwarnai ucapan selamat kepada Prof Yusri Yusuf. Ketua MAA yang baru dilantik itu datang ke warkop MZ di kawasan Lampriet Banda Aceh setelah ditelepon oleh Ketua ICMI Aceh, Dr. Taqwaddin, untuk bergabung.


Taqwaddin mengucap selamat, dan semua kami juga melakukan yang sama. Yusri yang juga salah seorang pengurus ICMI Aceh datang sendiri dan ikut cair dalam tawa canda ala ICMI. Memang tidak ada yang khusus dibicarakan terkait MAA. Kecuali dua hal.


Pertama, Taqwaddin mengatakan bahwa MAA sangat penting dan strategis. Karena terkait salah satu perannya MAA dapat menjalankan penguatan fungsi hukum adat dan peradilan adat di masyarakat. Ini sejalan dengan UUPA dan spirit qanun syari’ah yang diterapkan di Aceh.


Sebagai praktisi hukum dan pemimpin organisasi kemasyarakatan Taqwaddin tentu dapat melihat dengan terang masalah ini. Kita harap Dr. Taqwaddin akan menjelaskannya sendiri ke publik menyangkut peran penting MAA dalam soal ini.


Kedua, saya menyoroti pernyataan Yusri yang menghendaki MAA di sisa periode PAW yang dipimpinnya kiranya berlangsung baik dan dapat menjadi rumah bersama tokoh adat yang dapat menaungi berbagai upaya inisiasi penguatan dan pengembangan adat istiadat Aceh kedepan.


Ini tentu layak disorot mengingat belakangan sebelum saat MAA sampai ke tangan Yusri ini sudah berjalan sedikit terseok dalam pertentangan pendapat para pihak yang bersentuhan dengan lembaga adat Aceh yang terhormat itu. Sempat terjadi pergantian satu atau dua ketua MAA dalam suasana yang kurang harmonis. MAA pun berjalan dalam speed yang kurang terlihat ke permukaan.


Yusri dalam kesempatan itu menyadari waktunya tidak banyak. Hanya sekira delapan bulan, karena periode PAW ini akan berakhir pada bulan Mei 2026. Tetapi akan berupaya maksimal menjalankan fungsinya sebaik mungkin sesuai tupoksi MAA yang sudah ada. Salah satu fokusnya adalah menyiapkan Mubes MAA yang dijadwal pada Februari 2026.


Raut wajahnya seperti menyiratkan ada kerut yang bertambah dan senyumnya sudah tampak kurang lepas. Mungkin karena sudah mulai berpikir keras untuk memikul tugas tugas rutin sambil menata landasan yang empuk bagi persiapan mubes yang tidak didominasi kepentingan yang kurang sejalan dengan nilai adat istiadat yang dikibarkan di MAA.


Sebagai pilar kuat dalam ketahanan, penguatan, dan pengembangan adat di Aceh, MAA tentu sudah memiliki agenda strategis yang dijalankannya secara terukur. Baik dalam memelihara nilai adat istiadat melalui pembinaan tokoh dan lembaga adat di masyarakat maupun sebagai jembatan kepentingan pemerintah daerah (baik di tingkat propinsi maupun kabupaten kota).


Tetapi melihat tantangan tidak kecil yang dihadapi di masyarakat yang semakin longgar MAA tentu sudah menyadari pentingnya strategi yang sesuai dan tepat dengan ukuran normatif dan pendekatan praktis agar dapat masuk mengalir ke celah celah kehidupan masyarakat. Beberapa tantangan yang mungkin perlu tersentuh dalam agenda MAA itu diantanya dapat kita lihat nyata di masyarakat.


Teumeunak Dan Budaya


Teumeunak pada dasarnya kata kata kasar dan seringkali tidak sejalan dengan moral di masyarakat kita. Tetapi kalimat yang terasosiasi dengan teumeunak sering kita dengar diucap secara terbuka. Yaitu bahkan kalimat yang sebenarnya tidak boleh diucap – karena terkait dengan sesuatu yang sangat tabu – tetapi terasa ringan di mulut budaya kita. Bahkan diucap juga oleh tokoh.


Sekali waktu, tahun lalu, ibu ibu di ICMI Aceh mengkritik video viral yang merekam seorang ulama terkemuka di Aceh menyebut kalimat bernuansa “teumeunak” ketika beliau menirukan contoh kalimat  warga yang keberatan soal polisi tidur di jalan kompleks perumahannya. Saya katakan itu kalimat budaya. Beliau berbicara menggunakan bahasa masyarakat agar dakwah beliau mudah dipahami masyarakat, sesuai fikih dakwah khathibunnasa ‘ala qadri ‘uqulihim, berbicaralah kepada manusia sesuai kadar yang mudah menurut pemahaman mereka. Itu teumeunak budaya (?).


Tetapi terhadap budaya teumeunak yang saat ini seringkali kita lihat di medsos, bagaimana MAA merespon dan mengelolanya? Abu Faisal Ali merepresentasi lembaga MPU yang beliau pimpin sudah memperingatkan agar berhati hati bahwa budaya teumeunak itu dapat bergeser ke murtad. Dari sudut pandang adat istiadat bagaimana MAA melihatnya? Apakah justified bahwa budya teumeunak yang kemudian menjadi budaya dapat diterima di masyarakat, atas dasar nilai adat dan syari’at yang kita anut? Tentunya tidak. Maka bagaimana solusi adat untuk hal ini?


Pagar Adat


Terdorong dari format peran strategis MAA, adakah slot tersedia di lembaga tersebut yang terbuka untuk ikut berkontribusi  -- tentunya dari jalur adat istiadat yang dapat dikembangkan -- untuk ikut secara proaktif dan signifikan dalam penyelesaian masalah masalah sosial kemasyarakatan yang saat ini mengemuka mendera Aceh?


Kita masih terdata sebagai propinsi termiskin di Sumatera. Terlepas dari keinginan kita untuk mengoreksi indikator  yang digunakan BPS, tetapi kenyataan bahwa masyarakat kita masih banyak yang hidup sebagai kekluarga miskin (12,33% atau sekitar lebih dari 700 ribu penduduk, data Maret 2025) tentu perlu ada solusinya.


Dulu kita dengar ada pagar adat agar masyarakat terhindar dari kemiskinan. Misalnya setiap orang harus menjinjing sesuatu untuk di jual ketika turun ke kota di hari pasar. Ke pasar tidak hanya untuk membeli tetapi juga untuk menjual produk. Bahkan ada cerita sejarah Tgk Di Peusangan berdiri di persimpangan kota Matang Geulumpang Dua dengan sepotong kayu atau rotan di tangannya untuk memukul tangan warga yang memasuki pasar tanpa membawa barang untuk dijual. Adat telah mendidik warga untuk produktif secara ekonomi.


Korban narkoba warga Aceh juga masih tergolong tinggi. Data Juli 2025 menyebut warga Aceh yang terpapar narkoba mencapai 80 ribu orang. Kalau jumlah desa (gampong) di Aceh sebanyak 6,497, maka bisa dibagi rata setidaknya 12 orang perdesa menjadi korban narkoba.


Adakah pagar adat yang memungkinkan upaya untuk menekan angka korban narkoba ini, atau langkah rehabilitasi untuk warga yang terkena?


Yang tidak kalah mengerikan adalah pengidap HIV/AIDS di Aceh juga tinggi. Sekira 350 orang di Aceh terdiagnosis mengidap HIV/AIDS. Sampai Maret 2025 di Banda Aceh saja tercatat 553 kasus. Menyedihkan Aceh yang menjalankan syari’at Islam diisukan perlu diwaspadai dari potensi makin merajalela tersebarnya virus HIV mematikan itu.


Adakah pagar adat yang memungkinkan dapat dikembangkan untuk menahan lajunya persekongkolan jual beli virus itu? Ya persekongkolan yang makin terbuka dilakukan muda mudi dibawah “persetujuan” orang tua mereka dan mungkin juga para pemimpin mereka, yang membiarkan terbukanya jalan zina menjadi hal biasa.


Disamping itu tingginya angka perceraian saat ini turut menjadi kekhawatiran kita. Sampai Juli 2025 hampir tiga ribu kasus, tepatnya tercatat 2.925 kasus perceraian di Aceh. Mayoritas diajukan (gugat) oleh isteri. Adakah pagar adat yang dapat membantu keluarga, khususnya keluarga muda, dalam memperbaiki secara baik dan menghitung langkah dengan cermat dalam membina rumah tangga mereka sebelum bercerai?


Angka stunting juga tinggi. Tahun 2024 Aceh menempati perinkat ketujuh nasional dengan angka prevalensi 28,6 persen. Adakah dulu pagar adat di masyarakat kita yang dapat dikembangkan untuk mencegah angka stunting ini dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan gizi ibu hamil dan langkah – seperti yang diajarkan Ma Blin – untuk penanganan balita dalam periode tertentu sejak hari kelahiran?


Sembilan Titik Satu Garis


Sebagai lembaga strategis ada harapan kepada MAA untuk memimpin Aceh keluar dari berbagai isu melalui jalur adat. Bersama beberapa isu diatas yang mungkin juga belum merepresentasi semua tantangan yang sedang kita hadapi itu terkandung semangat untuk mengharap.


Sebagian mungkin melihat  bahwa itu tidak sejalan dengan  tupoksi MAA. Tetapi bukankah adat istiadat itu merupakan nilai yang hidup dan mengalir bagaikan darah dalam setiap sendi kehidupan kita. Adat hidup dan menghidupkan, mengalir dan memberi energi positif dalam membimbing orang Aceh dalam menghindari jebakan dan mencapai kebaikan.


Prof Yusri adalah orang yang berani. Saya kenal baik beliau oleh karena kami seperguruan. Manuver manuvernya mengesankan dan jarang gagal. Yusri adalah tokoh yang jarang terjebak sembilan titik format segi empat yang diikat satu garis sekali tarik tanpa putus. Berani out of the box.


MAA dapat melakukan peran besarnya yang strategis sebagai lembaga yang berkapasitas dan memiliki otoritas untuk bergerak koordinartif lintas sektor. Yang tampil ke depan memberi arah setiap stakeholder masyarakat kita.


Memanglah kita akan kehilangan harapan bila lembaga pengelola nilai ini terpaku dan hanya berjibaku untuk mengurusi dirinya. Yaitu urusan yang terpisah dari kepentingan masyarakat banyak.


Selamat bekerja Prof Yusri Yusuf, dan juga pengurus MAA lainnya. Aceh menanti uluran anda. Wallahu a’lam.


(Penulis adalah alumni nomor 7 lulusan Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam FAH UIN Ar-Raniry, 1988)

×
Berita Terbaru Update