-->

Notification

×

Iklan

Iklan

1/4 Abad Syahid Prof Safwan Idris: 7 Pilar Hikmah

Senin, 15 September 2025 | September 15, 2025 WIB Last Updated 2025-09-15T09:49:46Z


Oleh Saifuddin A. Rasyid


Al-Rasyid.id • Seakan baru kemarin. PAdahal sudah genap duapuluh lima tahun. Pembaca sudah tahu, seperti juga banyak jejak digital yang dapat ditelusuri. 16 September tahun 2000 miladiyah atau 17 Rabi’ul Akhir 1421 hijriyah. Hari Sabtu, sekira awal waktu dhuha. Saat itu cakrawala kota pelajar mahasiwa Darussalam Banda Aceh, tenang. 


Tak ada pesawat terbang melintas, juga sepi dari deru mesin kendaraan. Hanya beberapa burung terbang dan hinggap di atas ranting dahan di seputar kawasan yang saat ini berhadapan dengan lapangan bola kompleks UIN Ar-Raniry.


Pagi itu Allah membuat keputusan penting. Meski tak terasa ada tanda tanda. Allah memetik dan membawa kembali dari tangkainya sekuntum bunga yang sedang merekah dan semerbak wangi ke seantero negeri. Dari taman kompleks perumahan pimpinan IAIN Ar-Raniry kala itu, Prof Safwan sudah pergi.


Di ruang tamu rumah dinas rektor, suasana ramah bersahaja, santun dan sopan, saat seperti biasanya Prof Safwan dan keluarga menyambut tamu. Tetiba berubah seketika menjadi duka, marah, sedih, setelah satu dari dua tamu yang sedang Prof Safwan dan Ibu layani dengan baik itu menyalakkan senjata. Bunga itu gugur ke bumi. Tersenyum. Syahid, di pagi itu hari kesebelas Prof Safwan Idris baru saja menginjak usia ke 54. Beliau berpulang dalam kebaikan di jalan Allah.


He is Alive 


Belum hilang dalam ingatan kita. Masih sangat segar. Ya itu seakan baru kemarin. Bahkan seakan beliau masih ada bersama kita. Beliau hidup dalam ingatan kita, dalam ilmu kita, dalam gerak gerik kita. Beliau hidup dalam diri kita.


Inilah diantara makna firman Allah (QS Al-Baqarah ayat 154, dan Ali Imran ayat 169), bahwa orang orang yang gugur di jalan Allah itu hidup. Jangan katakan mereka mati tetapi mereka hidup dalam jaminan rezeki dari Allah ta’ala. Mereka hidup dalam kehidupan barzakh yang penuh kenikmatan dan rezeki dari Allah. 


Dibawah ini perkenankan saya coba deskripsikan setidaknya ada tujuh pilar hikmah yang berdiri utuh mengelilingi sosok Prof Safwan Idris.


Pertama, beliau guru pemberi teladan. Para murid beliau bukan hanya memetik ilmu, tetapi juga meniru. Meniru kebaikannya. Sopan dan santunnya dalam membimbing. Perhatiannya yang penuh dalam setiap percakapan dan interaksi. Sikap tegasnya dalam menunjuk jalan kebenaran. Detail ingatannya dalam memantau perkembangan kita. Pandangannya akan masa depan kita. Tak sedikitpun ada kesombongannya.


Kedua, beliau pemimpin pembuka jalan. Pelajaran yang kita petik dar Prof Safwan adalah pemimpin syogianya berjalan di depan. Layaknya seorang imam dalam shalat berjamaah. Di depan, dan mengambil inisiatif, terus menunjukkan visinya dan membangun strateginya. Lalu mengapresi hasil hasilnya. Sejalan dengan narasi ini Prof Safwan, satu ketika sebelum beliau perpulang, pernah digadang sebagai calon potensial pemimpin Aceh. Beliau mutiara untuk kemajuan Aceh yang sudah tampak di permukaan kala itu. Namun kemudian terbenam.


Ketiga, sahabat pemelihara keakraban. Kecerdasan komprehensif yang terpancar dari Prof Safwan memperlihatkan kemampuan (skill) beliau dalam bersahabat dengan mitra multi usia. Formatnya sama, orang disekitarnya hormat tapi tak menakuti dan manjauhinya. Bahkan takut bila dijauhi.


Keempat, organisator pembuka wawasan. Prof Safwan orangnya rapi. Caranya mengenakan pakaian dan bergerak, terkesan proporsional. Itu mencerminkan kedisiplinan beliau dalam mengorganize satu lembaga atau program yang dijalankannya. Orangnya terbuka dan bertanggung jawab (acuntable). Sistem yang beliau jalankan tak menyisakan orang berkelit dan atau menyeleweng. Semua berjalan sesuai norma keteraturan dan keteladanan.


Kelima, pendakwah keteladanan. Beliau juga pendakwah. Tak jarang tampil di tengah publik atau media dengan ide ide cerdas yang membangun. Cenderung mengedepankan jalan tengah dalam mengusulkan penyelesaian konflik di masyarakat. Bahwa ajaran islam itu luas dan luwes. Termasuk sesuai catatan yang dapat ditelusuri di media, dalam hal konflik bersenjata GAM dan pemerintah RI kala itu beliau sarankan untuk mengedepankan dialog dan damai. Alhamdulillah damai itu saat ini sudah kita nikmati, terjadi lima tahun setelah beliau pergi.


Keenam, pemikir yang mencerahkan. Beliau pemikir (thinker). Cirinya setiap berbicara selalu ada ide mencerahkan. Beliau part of solution, dan kata katanya enak dicerna dan hidup kalimat kalimatnya saat kita diajaknya bergerak untuk kemajuan. Dalam pandangan Ali Shariati, inimencirikan “raushan fikr”. Yaitu seseorang yang pemikirannya, bicaranya, tingkah lakunya cerah semerlang dan mendorong kemajuan kedepan.


Ketujuh, ulama cendekiawan. Ada garis yang dapat ditelusuri bahwa beliau terlahir dari rahim keturunan ulama di Aceh Besar. Ilmu agamanya panjang dan mendalam, karena hidup dalam satu tradisi keilmuan ulama sejak kecil dan meneruskan kajiannya di perguruan tinggi. Sikapnya konsisten (istiqamah), caranya bertindak dan berperilaku penuh hikmah. Prof Safwan hidup layaknya seorang ulama yang acceptable di masyarakat. 


Satu lagi yang kuat di diri beliau adalah kerisauan akan kemunduran dan ketertinggalan umat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kehidupan berbangsa. Kerisauan seperti ini, menurut Prof BJ Habibie, adalah ciri khas seorang cendekiawan, seorang intelektual. Menurut Prof BJH intelektual atau cendekaiawan bukanlah ilmuan. Ini yang ada pada diri Prof Safwan. Sempurna, beliau ulama dan juga intelektual (cendekiawan).


Shaf One


Ustaz Mufakhir Muhammad -- pendakwahyang padat jadwalnya, murid dan sahabat Prof Safwan --menceritakan bahwa beberapa saat sepeninggal Prof Safwan masjid Fathun Qarib seperti kehilangan ruh. Ikut berkabung. Terasa kosong dari rasa dan semangat kejamaahan. Mungkin juga hal ini terasa di berbagai masjid dimana beliau seering singgah. Ustaz Mufakhir menyebut tokoh seperti Prof Safwan itu “ruhul masajid”, yaitu seseorang yang melekat pada dirinya ruh, spirit, yang membangkitkan umat melalui masjid.


Adanya masjid di lingkungan kampus UIN (dulu IAIN) Ar-Raniry tak jauh dari inisiatif dan hasil tangan dingin Prof Safwan. Baik sejak menghidupkan jamaah di mushalla kecil biro rektor kala itu, lokasi yang saat ini pojok barat perpustakaan pasca sarjana. Sampai mendirikan masjid sementara dekat Fakultas Tarbiyah, dan mengupayakan bantuan masjid Yayasan Amalbakti Muslim Pacasila, yang kemudian diberi nama Fathun Qarib.


Ustaz Ibnu Sa’dan, Kepala Biro saat ini di UINSU, menceritakan satu tradisi Prof Safwan dulu selaku rektor adalah setiap Senin setelah shalat zuhur berjamaah, beliau langsung naik mimbar. Ini jadwal tetap beliau tanpa harus dipersilahkan. Kosong bila beliau dinas luar. Jadwal ini permanen, sehingga seluruh unsur pimpinan IAIN kala itu masing masing mengatur dan menjaga jadwal ini. Karena bila tidak, Prof Safwan tak sungkan tanya langsung dari mimbar, mengapa tidak hadir shalat berjamaah dan kemana. 


Pernah, diketahui suatu Senin pagi Prof Safwan masih dalam perjalanan dinas ke Jakarta. Bisa diduga mungkin masjid agak sepi karenanya. Tetapi apa yang terjadi, turun pesawat beliau langsung menuju masjid Fathun Qarib. Masbuk. Selesai terus langsung naik mimbar. Beliau menjalankan jadwal rutin naik mimbar Senin zuhur walau waktu beliau sempit.


Dikisahkan sekali waktu Senin di mimbar Fathun Qarib dalam suasana ringan dan sangat santai Prof Safwan mengajukan pertanyaan kepada hadirin yang berderet di shaf masing masing. “Tahu tidak mengapa saya diberi nama Safwan?”. Tentu tidak ada yang menjawab, karena yang bertanya adalah seorang pemimpin tertinggi kampus keagamaan terkemuka dan hal yang ditanya persoalan sangat pribadi pula. 


Ya beliau menjawab sendiri. “Karena Abu dan Ummi menghendaki saya selalu berupaya shalat berjamaah dan datang ke masjid di awal waktu. Abu dan Ummi saya berharap dan mendo’akan saya selalu berdiri di shaf paling depan, ya shaf nomor satu. Itu sebabnya saya diberi nama Shaf One”, sambil beliau sedikit terkekeh khas ala Prof Safwan – tidak tahu, mungkin juga sambil beliau sedikit mengusap (alias menjarut) jenggotnya yang rapi. Lalu menutup sesi mimbarnya siang itu dalam suasana sedikit riuh rendah para jamaah yang hadir. Tentu saja dilanjut dengan salam salaman dalam suasana sangat akrab.


Dalam kehidupan Prof Safwan, prinsip “shaf one”, selalu tampil di depan dan cepat tanggap, responsif dan proaktif sesuai harapan orang tuanya. Ini spirit yang mewarnai keseharian beliau yang sudah menyatu dalam diri dan terbawa dalam keluarga dan lingkungan sekitar beliau berada selama di dunia. Selamat terus beraktifitas, Prof di alam sana. Dalam alam dengan dimensi kita yang berbeda.


Orang orang sekitar yang sudah lebih dulu berpulang dan kemudian yang menysul, seperti juga kami dulu, pasti senang bahagia berada di kitar Prof. Kami yakin mereka suka mendengar cerita para malaikat atas perintah Allah akan amal amal dan kebaikan Prof selama didunia. Kami juga senang meneruskan nilai dan ilmu serta spirit yang Prof ajarkan. 


Ta’zhim


Kami bersyukur sempat Allah pertemukan walau tak lama. Tetapi banyak catatan penting yang sempat kami buat. Terimakasih atas quality time yang Prof sediakan. Terus inspirasikan kami kemampuan untuk memupuk sikap istiqamah. Sampai kami akan dapat berjumpa kembali dengan Prof nantinya. 


Khusus saya pribadi, sempat Prof latih langsung cara mengelola class sejarah islam asia tenggara – selaku seorang mahasiswa -- saya tersanjung dapat memetik pelajarannya karena Prof pantau prosesnya secara ketat. Terimakasih telah membimbing saya cara berbicara ke publik dengan santun. Saya ingat seumur masa ketika Prof katakan saat mengoreksi saya, “janganlah sampai merasa bahagia saat berbicara ketika kita mengetahui pendengar kita kesal dan marah atas cara atau apa yang kita sampaikan”. 


Terimakasih Prof telah memotivasi saya agar segera menyelesaikan skripsi yang sudah agak tertunda di Fakultas Adab, dan – tanpa sempat wisuda tak mengambil iajazah setelah sidang – sesuai arahan Prof untuk sementara saya langsung keluar dari Aceh pada 1988. 


Saya bahagia dapat bertemu dalam kunjungan Prof di Kulala Lumpur pada sekira pertengahan tahun 1994 saat Prof meminta kami pulang ke Ar-Raniry – karena sepertinya keadaan sudah baik -- untuk mengabdi di D3 Ilmu Perpustakaan yang saat itu baru dibuka. Seperti sudah saya sampaikan Prof, saya dan keluarga sudah tiba di Banda Aceh pada akhir 1994,walau tidak sempat bersua. Tetapi karena ayah mertua saya khawatir dan meminta saya bersama isteri dan puteri kami dua saat itu agar kembali ke Jakarta. 


Alhamdulillah hal ini sempat saya cerita ketika kita duduk dengan Prof Kamal Hasan dari Malaysia dan dua tiga tokoh belahan dunia lainnya di ruang makan konferensi internasional mengenai zakat yang difasilitasi oleh Prof BJ Habibie di BPPT Jalan Thamrin Jakarta tahun 1996 dimana Prof satu satunya presenter dari Aceh berbicara mengenai Science of Zakah. 


Saya lega Prof memaklumi dan kalau Prof masih ingat apa kata Prof ke saya kala itu,”library scientist but working in the field of economy”, sambil Prof sedikit tersenyum. Bahagia sekali karena saya merasa mendapat dukungan dari Prof untuk melanjutkan aktifitas saya di ICMI dalam gerakan ekonomi syari’ah Indonesia sejak ide awal pendirian bank mu’amalat sebagai bank islam pertama sampai penyebaran BMT (baitul mal wat tamwil) di Indonesia.


Prof, saya agak malu malu tapi ini penting untuk saya sampaikan ke teman teman. Terimakasih sudah menyediakan ruang kerja Prof di ruang WR 1, telah memfasilitasi pertemuan saya dengan seorang mahasiswi Prof pada parohan akhir tahun 1989. Bersama murid kesayangan Prof itu kini kami hidup damai dan bahagia. 


Indah sekali, Prof. Perhatian yang Prof Safwan berikan dan peran pentingnya demikian detail dan mendalam dalam setiap event etape kehidupan, menyebabkan saya selanjutnya tidak dapat lagi berkata kata. Selamat beristirahat di taman syurga. Wallahu a’lam.


(Penulis adalah Imam Besar Masjid Fathun

 Qarib UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

×
Berita Terbaru Update