-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Insan Kamil dan Redefinisi Manusia Indonesia

Kamis, 16 Oktober 2025 | Oktober 16, 2025 WIB Last Updated 2025-10-16T10:10:57Z


Oleh Saifuddin A. Rasyid

Al-Rasyid.id | Mochtar Lubis, wartawan dan budayawan terkemuka Indonesia, menyampaikan ceramah kebudaayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada 6 April 1977. 48 tahun yang lalu. Pidatonya menggemparkan dan membuat mata warga bangsa ini kala itu, terbelalak. Dia mengupas tuntas secara terbuka karakter manusia Indonesia.


Dalam ceramah yang heboh dan mendapat perhatian luas itu Muchtar Lubis memaparkan enam ciri utama manusia Indonesia. Disebutnya secara lantang bahwa manusia Indonesia munafik (hipokritis), enggan bertanggung jawab, bersikap dan berperilaku feodal, percaya takhyul, artistik alias berbakat seni, dan lemah watak atau karakternya. Ada setidaknya tujuh sifat turunan lain yang disampaikannya juga, disamping enam kriteria utama itu. 


Naskah pidatonya tebalnya 81 halaman. Kemudian beredar dan mendapat tanggapan di berbagai media utama nasional. Bahkan internasional. Naskah utama dan berbagai tanggapan kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia pada Mei 2001, 139 halaman.


Beberapa naskah tanggapan yang dipublikasi media mainstream nasional kala itu dimuat di bagian akhir buku, termasuk ulasan Mochtar Lubis juga terhadap tanggapan itu. Polemik para penanggap dengan Mochtar Lubis dapat dinikmati dengan baik, seperti pemikiran Sarlito Wirawan Sarwono, Margono Djojohadikusumo, Wildan Yatim, dan Abu Hanifah.


Jakob Utama, wartawan senior, dalam pengantar buku itu, menyebut memang pemikiran Mochtar Lubis itu menimbulkan pro kontra, terhadap sifat sifat negatif manusia Indonesia, tetapi buku ini produktif dapat membangkitkan pemikiran kritis tentang manusia Indonesia. Jadi masih menurut Jakob Utama, buku ini sangat penting.


Enam Ciri Utama


Dikupasnya secara terbuka, dengan analisis yang tajam terhadap fakta. 


Pertama, manusia Indonesia munafik, atau bersifat hipokritis. Suka berpura pura, lain di muka lain di belakang. Sikap ini terbangun sejak lama bahkan sebelum masa penjajahan, dan terbiasa dalam perilaku manusia Indonesia sebagai respon untuk penyelamatan diri dari tekanan dan ancaman atau ganjaran yang dapat menimpa dirinya. Sikap ini bahkan berlanjut meski manusia Indonesia sudah hidup dalam era pengaruh agama. Padahal sikap munafik sangat ditentang oleh Islam, atau mungkin oleh agama agama lainnya juga.


Kedua, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya. Istilah yang popular, “bukan saya”, “kok tanya saya”, sangat sering kita dengar keluar dari mulut manusia Indonesia bila terjadi kesalahan atau kekeliruan. Atasan menggeser tanggung jawab kesalahan ke bawahannya, bawahan ke bawahannya lagi dan seterusnya. Bawahan paling bawah tinggal menjawab “saya hanya melaksanakan tugas, sesuai perintah dari bos saya”. Lempar batu sembunyi tangan adalah adagium yang sesuai dengan sikap ini. 


Sebaliknya bila sukses manusia Indonesia tanpa rasa malu segera tampil ke depan untuk menerima bintang penghargaaan, piala, hadiah tepuk tangan dan sebagainya. Tak lupa dia menyebut kesuksesan ini karena saya, meskipun yang melakukan adalah timnya, bawahannya, mitranya. Walau orang lain yang melakukannya, tapi bila itu sesbuah kesuksesan, “itu karena saya”. Manusia Indonesia.


Ketiga, bersikap dan berprilaku feodal. Feodalisme dalam bentuk baru hidup dengan subur di tengah kehidupan manusia Indonesia, meskipun revolusi kemerdekaan Indonesia salah satu tujuannya adalah untuk membebaskan bangsa ini dari penjajahan dan fedalisme. Perilaku ngeBoss, bossy, suka memerintah, tak jarang kita lihat di sekitar kita. 


Atau bahkan kita rasakan sendiri. Baik kita ngeboss orang lain bawahan kita, atau kita dibossy oleh atasan kita. Kitapun terkadang suka dibossy karena ingin menjilat atasan dan atau mengharap pemberian orang lain. ABS, asal bapak senang, asal ibu senang, ini perilaku yang sering kita dengar dari ucapan orang dan justified di tengah kehidupan sosial kita.


Bapak Margono Djojohadikusimo, kakek persiden Pabowo, disebutkan Jakob Utama dua kali datang ke redaksi Kompas kala itu di Palmerah Jakarta, salah satunya untuk memporotes ceramah Mochtar Lubis itu. Seperti juga dalam naskah sanggahannya, Pak Margono keberatan dengan istilah feodal yang disampaikan Mochtar. Karena, sebagaimana beliau mengakui sendiri, beliau termasuk dari keluarga feodal seperti yang disebutkan itu, dan bahwa feodalisme harus dilihat dari konsep aristokrasi. Itu, kata beliau, positif. Jangan dibangun dari perspektif negatifnya.


Keempat, percaya takhayul. Dulu dan sekarang, masih ada manusia Indonesia yang percaya pada ruh yang hidp pada batu, pada gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon. Patung, bangunan, batu cincin, keris, rencong pusaka, pedang ajaib. Kekuatan gaib pada benda benda. Manusia Indonesia mengatur hubungan baik dengan ruh dan berbagai kekuatan gaib itu. Dalam Islam perilaku ini dikategorikan syirik, tergolong menyekutukan Allah.


Kelima, artistik alias mengalir dalam seni. Manusia Indonesia dekat dengan alam, kata Mochtar Lubis, karena cenderung senang berinteraksi dengan roh, sukma, jiwa, tuah dan sebagainya, yang mendorong hidup lebih banyak dengan naluri, perasaan, termasuk perasaan sensual. Ini kemudian terungkap dalam bentuk dan karya seni yang indah dan menarik untuk dikoleksi dan diperjual beli. Termasuk dikoleksi di museum museum penting di Eropa, Amerika dan negara negara lainnya. Manusia Indonesia sangat pandai mengungkap perasaan dalam karya seni.


Keenam, lemah watak atau karakternya. Untuk survive manusia Indonesia sangat mudah mengubah keyakinannya. Berpendirian lemah dan cepat goyah. Ini bisa karena turunan perlaku feodal, kata Mochtar. Seperti bentuk lain dari sikap ABS, memuji atasan menyelamatkan diri. Loncat partai dan zigzak politik, seperti yang kita tonton di pentas pentas wayang dan sandiwara, sudah barang tentu merupakan ekspresi dari prilaku lemah karakter ini.


Belum Ada Bantahan


Pemikiran Mochtar Lubis mengenai Manusia Indonesia itu belum ditemukan ada bantahan. Semua kritikan yang disampaikan para ahli semasa Mochtar masih hidup malah makin menguatkan thesis Mochtar Lubis itu. 


Ada yang berargumentasi bahwa Mochtar Lubis menyampaikan itu ketika Indonesia baru berusia 32 tahun. Masih sangat muda untuk menilai kararakter sebuah negara. Tetapi yang disampaikannya adalah kararakter manusia bukan karakter negara atau bangsa. Yaitu yang sudah tumbuh sejak lama sebelum ada negara Indonesia. Namun saat ini setelah 80 tahun merdeka, adakah teori MochtarLubis ini masih relevan? Ataukah kita sudah mengalami perubahan?

 

Tentu perlu dibuktikan dengan satu kajian yang komprehensif dan mendalam. Terutama ketika kita, manusia Indonesia, dan manusia belahan dunia lainnya sudah menyatu dalam satu siklus kesenyawaan global, tak lagi ada batas batas Negara. Manusia Indonesia penting menemukan pemahaman baru sebagai antiotesa terhadap teori Mochtar Lubis diatas.


Pertanyaannya dimana kita dapat menemukan landasan karakter yang kuat untuk menjastifikasi pandangan mengenai karakter manusia Indonesia dalam konteks pemahaman yang baru. Yaitu yang dapat kita jadikan arah dan ukuran karakter manusia yang kuat dalam konteks Indonesia sebagai bangsa besar yang siap menghadapi berbagai tantangan saat ini dan masa depan.


Insan Kamil


Untuk menjawab kebutuhan itu Islam menyediakan konsep dan kriteria Insan Kamil, yang secara utuh dipromosikan langsung oleh Rasulullah SAW sejak empat belas abad yang lalu. Banyak ayat dan hadist Nabi SAW dapat ditelusuri mengenai hal ini. Semuanya bersumber dari ketentuan Pencipta Alam semesta ini, Allah SWT.


Insan kamil adalah konsep Islam yang merujuk pada manusia sempurna, baik dari segi spiritual, moral dan intelektual. Contoh Insan Kamil adalah baginda Nabi SAW sendiri, sebagai teladan manusia sempurna. Kesinilah sejatinya arah konsep idealitas yang harus dicapai setiap individu manusia Indonesia.


Beberapa referensi yang Alquran sajikan misalnya At-Tin (95) ayat 4, dimana Allah menegaskan manusia diciptakan dalam format yang sempurna. Tetapi manusia suka menyimpang, menyeleweng dari format dasar (ayat 5). Maka terjadi yang sebaliknya.

Dalam An-Nahl (16) ayat 78 Allah

 menjelaskan bahwa untuk menjadi manusia sempurna (insan kamil) manusia difasilitasi dengan pendengaran, penglihatan, dan hati (akal). Ayat ini ditutup dengan kalimat “agar kamu bersyukur”, yaitu agar memanfaatkan ketiga fasilitas itu secara baik dengan tujuan yang dituntun oleh Allah dan RasulNya sendiri.


Ayat lain adalah Al-Baqarah ayat 31, dimana Allah menunjukkan keistimewaan manusia yang diberi kemampuan untuk belajar dan menguasai ilmu pengetahuan, bahkan termasuk ilmu yang tidak diajarkan kepada para malaikat.


Jebakan Definisi Baru


Definisi baru manusia Indonesia yang akan terbentuk tentu tak lepas dari hasil pergumulannya dengan interaksi perkembangan masa kini dan masa depan. Sistem dan model pergaulan yang makin terbuka dan persaingan yang makin ketat akan menyisakan ruang yang sangat sempit untuk kepribadian utuh yang dapat dikendalikan, bila Indonesia melepas konsep Insan Kamil. Karena dengan konsep ini diyakini karakter manusia Indonesia akan berevolusi ke arah dan dengan cara yang benar. 


Orangtua, rumah tangga, lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan institusi formal, tentu dapat berperan sangat penting dalam format masing masing untuk menjaga perubahan manusia Indonesia dalam kendali yang sesuai dengan harapan untuk kemaslahatan bersama.


Tentu saja penting kita pastikan manusia Indonesia memiliki karakter standar dan terus berevolusi atas dasar nilai yang kuat sebagai pewaris masa depan yang siap bersaing di kancah yang makin terbuka dan tajam tanpa kehilangan jatidiri sebagai bangsa dan kemuliaan manusia di Mata Allah SWT. 


Wallahu a’lam.


(Penulis adalah akademisi FAH UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

×
Berita Terbaru Update