-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Saat Pasrah Bencana Sudah Tiba

Kamis, 11 Desember 2025 | Desember 11, 2025 WIB Last Updated 2025-12-12T06:11:22Z



Oleh Saifuddin A. Rasyid

(Imuem Meunasah Gampong Barabung)


Al-Rasyid.id | Gubernur Mualem setidaknya terpantau tiga kali menangis di depan media selama bencana banjir dahsyat ini. Tangisnya sesugukan, terasa ditahan, tak terkesan dibuat buat. Sambil menyampaikan pernyataan pesan pesan. Menginspirasikan dia sedang menaggung beban yang sangat berat.


Memang usia Mualem tidak lagi muda. Sudah masuk senja. Pada peringkat usia seperti ini seseorang sudah mudah menangis. Tak lagi banyak tertawa dan hura hura. Ini normal dan baik bagi manusia. 


Kalau saya gubernur Mualem, maka di depan media saya menangis untuk tiga hal. 


Pertama, ini kenyataan bahwa banjir ini sangat dahsyat. Bukan seperti yang sudah sudah hanya air yang melimpah tumpah ke pemukiman warga, tetapi ini lumpur dari gerusan tanah di pegunungan dan gelondongan pohon dan cabang kayu. Sebagian pohon kayu yang datang malah siap panen dalam potongan rapi dan sudah ada stempel pemilik yang disahkan. 


Deru banjir material kayu – lumpur – air (disingkat: KaLA) itu melaju dalam kecepatan tinggi menabrak dan menerjang apa saja yang mengahadang. Bibir sungai, kebun dan sawah warga, rumah rumah, jembatan, tumbuhan, hewan dan manusia. Apa saja dilumatnya. Rata dengan tanah yang tertimbun. Sungai tumpah , merambah, menggerus dan membentuk sungai sungai baru. 


“Tiga desa hilang”, demikian pernyataan resmi gubernus Mualem ditengah isaknya. Kalau saya Mualem, maka di kepala saya berkecamuk banyak sekali hal. Dari sebab mengapa terjadi banjir KaLA ini sebagai akibat keganasan dan ketamakan manusia (pemegang konsesi hutan, HPH) dan kebijakan pemerintah yang memaksa dan tanpa kendali, sampai mengapa hal ini terjadi pada saat Mualem berkuasa di Aceh.


Sesungguhnya sejak awal menjabat Mualem sudah memulai melangkah dengan visi dan mimpi perjuangannya untuk kemajuan Aceh. Pembangunan infrastruktur untuk kemandirian ekonomi. Pendidikan dan budaya berciri khas Aceh. Hubungan internasional Aceh dengan negara negara kawasan sekitar. Langkah itu terpukul mundur dengan bencana.


Kedua, Mualem menyaksikan ada bupati yang tak siap berdiri tegak bersama warga korban bencana. Mereka lari. Pemimpin yang meninggalkan warga yang dipimpinnya tertatih dalam nestapa. Di tengah isaknya, Mualem kecewa ada bupati yang lari ke Medan, main karoke. Ada juga yang pergi jalan jalan bertamasya dengan keluarganya ke Mekah. Alasan umrah. Umrah apa? Umrah hukumnya sunat, sedangkan melindungi dan membantu warga yang susah di tengah musibah, adalah wajib.


Kalau ada bupati yang menyampaikan tak sanggup menghadapi bencana, ini dapat dimaklumi. Mendagri juga memahami itu. Karena bupati dan walikota serta seluruh perangkat pemerintahan di daerah daerah terimbas bencana adalah juga korban. Infrastuktur hancur fasilitas tak punya. Bupati butuh bantuan dari luar. Kalau saya bupati, maka saya juga ingin menyampaikan pesan, “lihat, ini hasil kerjaan kalian di Jakarta, kalian makan enak kami yang hancur kena getahnya.” Wajar ada bupati melempar handuk putih.


Dengan dukungan masyarakat sipil gubernur Mualem minta bencana banjir ini ditetapkan sebagai bencana national. Karena sangat dahsyat dampak kerusakannya juga mengimbas setidaknya tiga propinsi. Bukan hanya Aceh. Korban meninggal juga melebihi seribu, bukan angka yang kecil. 


Kerusakan infrastruktur parah dan merata. Kerusakan rumah rumah warga luas merata. Kerusakan fasilitas produktif, sawah ladang tambak, milik masyarakat parah dan merata. Bendungan irigasi ambruk. Masa depan pendapatan warga pasca bencana gelap. Pendidikan anak anak dan pertumbuhan generasi terjejas.

Pemerintah daerah tak memiliki kemampuan untuk memperbaiki. Minta bantuan Jakarta, agar ditetapkan sebagai bencana nasional. Dengan itu energi negara justified dapat dikerahkan. Terbuka juga dapat menerima bantuan dari luar, yaitu bantuan negara lain dan lembaga internasional. 


Tetapi Jakarta acuh untuk turun tangan. Tak menggubris permintaan ditetapkan sebagai kebijakan bencana nasional. Bahkan secara tegas menolak. Tak perlu, itu bisa dihandel pemerintah daerah, kata mereka. Pejabat Jakarta juga mengatakan ini bencana kecil, hanya tampak mencekam di media social. Mereka juga bilang, tak ada wilayah pedalaman terdampak yang terkurung, tak bisa dijangkau. Semua aman. Padahal kenyataannya di lapangan tak bisa disembunyi, terjadi sebaliknya.


Jakarta terkesan cenderung ingin menutupi. Ini namanya bencana alam. Yang sudah meninggal ya sudah selesai. Sementara yang masih hidup pasti akan ada jalan mereka masing masing. Pemerintah juga tahu dan seakan menikmati reaksi cepat masyarakat sipil yang datang membantu. 


Bantuan terus dan bertubi tubi datang dari berbagai komponen masyarakat. Berupa donasi. Termasuk dari individu pegawai lembaga lembaga milik pemerintah dan keluarga mereka juga tidak ketinggalan atas inisiatif masing masing. Tergerak memberi bantuan. Turun langsung ke lapangan demi kemanusiaan. Mengumpulkan uang, bahan logistik, pakaian bekas dan berbagai keperluan korban dan pengungsi. Warga bangsa bergandengan tangan turun membantu.  


Itu semua bukan atas nama negara tetapi spirit sesama warga bangsa yang merasakan kepedihan bencana. Negara hanya terbukti hadir dengan mengirim pejabat dan pesawat untuk mengakui sebagai simbul bahwa ada terjadi kerusakan di bagian tertentu dari wilayah Republik Indonesia. Termasuk mengirim pejabat yang datang untuk bersekongkol membuat pernyataan bohong menutupi kekurangan dan menambah rasa sakit warga yang menderita. Pejabat pemerintah ada yang malah tersinggung dengan banyaknya bantuan masyarakat sipil yang terkumpul dan dikirim ke wilayah bencana.


Mualem seperti putus asa. Dia membuka peluang bantuan dari luar menggunakan jaringan, persahabatan dan pengakuan yang ada pada dirinya. Mungkin dia berpikir biarlah Jakarta menjalankan agenda sesuai batas kebijakan negara. Tetapi kita, Aceh berdasarkan UUPA, ada peluang untuk berkomunikasi dengan luar. Mualem pun sempat menyebut sumber bantuan dari satu dua negara. Harapan masyarakat sudah terbuka. Semoga itu adalah jalannya.


Namun Jakarta kembali meradang dan menghadang. Tidak boleh ada bantuan dari luar. Kita masih sanggup sendiri. Kata mereka. 

Mengapa pemerintah menghalau hasrat masyarakat internasional untuk membantu, pun tidak dijelaskan alasannya. Walaupun orang mudah menduga bahwa pemerintah Indonesia akan kesulitan bila data kisah bencana ini dibuka. Bisa bisa pemerintah dihadapkan ke mahkamah internasional karena sudah menghacurkan hutan sumatera yang disitu adalah area habitat berbagai satwa dan satu satunya rumah orangutan yang paling dilindungi dunia internasional. 


Terkesan tertutup sudah. Tidak ada pilihan. Hanya pasrah. Mualem masih menangis. Menangisi nasib dirinya sebagai pemimpin Aceh yang tertimpa bencana. Menagisi ada bupati yang tak becus di sekitarnya. Juga menangisi minimnya dukungan Jakarta terhadap upaya dirinya membantu penyelamatan warga yang terjebak sakit dan lapar, dan langkah dia dalam memulihkan kembali Aceh paska bencana. Dia kembali menangis.


Ketiga, Mualem berserah diri. Ini jalan baik, ketika sudah mentok disana sini. Gelap sudah tak tampak ada cahaya. Dia gisa (kembali) menghadap Tuhan. “Kita hanya berharap kepada Allah”, katanya kepada reporter Najwa Shihab. “Kita kecewa bila berharap kepada manusia, kita hanya berharap kepada Allah”. Ini sikap yang mantap. Manis, ini manis. 


Tampak ini buah manis dari kedekatan Mualem dengan ulama. Terlihat beberapa langkah terakhir Mualem makin lengket dengan beberapa ulama kharismatik. Seperti hubungannnya dengan Abu Paya Pasie, yang dikukuhkannya menjadi imam besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Kedekatannya dengan Abuya Amran Wali, yang dikukuhkannya sebagai Wali Agama. Demikian juga kedekatannya dengan kalangan dayah (pesantren) dan ulama terkemuka lainnya.


Ini jalan kembali menuju Tuhan. Sama seperti spirit ayat Alquran, “inni zahibun ila Rabbi sa yahdini.”  Aku berjalan secara mantap menuju Tuhanku, hanya Dia Yang memberiku petunjuk. Tak ada raut keraguan pada wajah Mualem pada saat mengatakan kaimat diatas. Hanya berharap kepada Tuhan. Bila berharap kepada manusia, kita kecewa.

Mualem kita tahu bukan orang bersih. Seperti kita juga. Tentu dia banyak dosa. Mungkin termasuk ada dosa yang dilakukannnya dengan menikmati keuntungan dari kepedihan hamba hamba Allah yang ikhlas. Kita tahu dia tidak dekat dengan agama tetapi kita juga tahu dia mendapat pendidikan agama dari orang tuanya. Dia punya modal untuk kembali, dan yakin Allah menerimanya saat dia kembali.

Gubernur Mualem sudah menemukan maqam yang hakiki, ketika dia segera lari kepada Allah.  Menyerahkan diri.


God Spot


Adalah pengalaman Capt Abdul Rozak, pilot senior Garuda. Hari itu 16 Januari 2002 dia mengemudi pesawatnya yang berbadan lebar Boeing 737-3QB, dari Mataram menuju Jogja. Membawa 60 penumpang dan awak kabin. Kejadiannya sudah 23 tahun silam. Pesawat dengan nomor penerbangan GA 421 itu mendarat darurat di sungan Bengawan Solo.


Ketika Abdul Rozak dan co-pilotnya sedang melakukan manuver meninggalkan ketinggian untuk persiapan menuju destinasi pendaratan, pesawat memasuki area cumulonimbus yaitu gumpalan awan hitam pekat. Tentu sudah diperhitungkannya aman sesuai prosedur terbang. Tapi tetiba pesawatnya mengalami mati mesin. Sangat gelap di dalam pesawat. Panik, pasti. Tetapi dia professional, dia kendalikan. Meskipun kedua mesinnya sudah mati.


Sambil tetap dikendalikan bertahan melayang di udara pesawat diarahkan menuju celah yang dari kejauhan terlihat sedikit terang. Sambil Abdul Rozak melakukan beberapa prosedur teknis untuk menghidupkan kembali mesin pesawatnya. Salahsatunya dengan cara menghentakkan pesawatnya ke bawah secara tajam dilepaskan jatuh beberapa detik, kurang lebih untuk menimbulkan efek seperti mendorong mobil mogok. Tapi tak berhasil. Mesin tetap mati.


Komunikasi pilot dengan menara pantau terputus. Kedua pilot tidak panik. Dia sampaikan pesan itu juga kepada seluruh awak kabin. Tetap tenang. Kita akan melakukan prosedur pendaratan darurat. Lalu Abdul Rozak mengaktifkan sinyal komunikasi spiritualnya dengan Allah (God). Sudah tidak ada cara lain. Semua sudah dicoba. Hanya satu tersisa, yaitu Allah dan pertolonganNya.


Pesawat sudah keluar dari awan hitam yang pekat dan melayang makin dekat ke daratan. Abdul Rozak sudah pasrah. Dia sudah tenang. Tidak gugup. Terus berpikir dan memaksimalkan upaya. Sambil terus berkomunikasi dengan Allah.


Dia sampaikan kepada Allah bahwa dia ingin mendaratkan pesawatnya dengan selamat. Dia ingin melindungi seluruh penumpangnya. Dia yakin Allah sudah terima pesan darinya, dan Allah sedang membimbing pesawatnya untuk segara mendarat dengan aman.


Tahap seperti ini disebut God spot. Titik dimana manusia tidak lagi punya sandaran selain Allah. Titik ini ada dalam setiap diri manusia beriman. Ini bibit iman paling asasi. Dimana manusia sudah betul betul telah mampu melihat dirinya sangat kecil di hadapan Allah yang Maha Besar. Hanya Allah Pemilik bumi dan langit, Pemilik kehidupan dan kematian. Pemilik alam raya ini. Hanya Allah saja tempat kita bergantung dan minta tolong. Titik ini lebih mudah kita rasakan ketika kita sedang terbang pada ketinggian tertentu dalam satu perjalanan dengan pesawat terbang.


Abdul Rozak dalam pesawat GA 421 yang dikemudikannya melayang makin rendah. Co-pilot menyarankan pendaratan di sawah, dia menunjuk ke satu area persawahan di bawah sana. Tapi Abdul Rozak ragu karena potensi benturan akan lebih berisiko. Sambil terus mencari cari lokasi pendaratan sedangkan pesawat terus melayang lebih rendah. 

Abdul Rozak melihat sungai Bengawan Solo dari kejauhan. Dia menghitung dan bersepakat dengan co-pilot untuk mengarahkan kemudi ke sungai itu. Co-pilot setuju. Deal. Mereka berangkulan di kokpit sebagai bukti siap bekerjasama untuk satu tujuan yaitu pendaratan darurat yang selamat. Apapun resikonya. Ayo bismillah.


Ada tampak satu hambatan menuju sungai, yaitu sebuah jembatan. Abdul Rozak mengambil manuver memutar untuk menghindari jembatan sambil terus menguragi ketinggian. Pesawat sudah mengarah ke sungai. Resiko jembatan sudah dilewatinya. Makin dekat. Makin dekat. Sementara Abdul Rozak makin dekat pula kepada Tuhannya. La ilaha illallah, la ilaha illallah. Bruuum. Pesawat mendarat dengan selamat di permukaan sungai Bengawan Solo. Abdul Rozak berteriak Alhamdulillah, Allahu Akbar. 


Pesawat mengapung terseret air. Allah mendorong pesawat hambaNya yang pasrah itu ke tepi. Ada batu besar yang menahan bagian ekor pesawat sehingga Allah meletakkan bagian depan kiri pesawat sangat dekat dengan daratan. Pesawat sudah stabil terhendi di posisinya. Abdul Rozak secara cepat melepas seat belt dan segera loncat ke kabin penumpang. Orang orang riuh dan menangis. 


Selaku pilot Abdil Rozak bergerak cepat mengevakuasi penumpang. Menghindari kemungkinan tenggelam. Dia pimpin sendiri menyelamatkan orang orang. Sambil dia cari cari kalau ada korban. Alhamdulilah selamat, walau ada yang luka luka. Kecuali satu orang pramugari hilang, yang kemudian jenazahnya ditemukan tim evakuasi nelayan dan penduduk setempat di sungai tak jauh dari bodi pesawat.


Do’a


Ketika pasrah, kekuatan kita adalah doa. Doa senjata mukmin, demikian mafhum sabda Nabi SAW. Jangan abaikan kekauatan doa. Dia membuka tangan menyambut dan menampung hamba yang lari kepadaNya. Dia bimbing orang orang beriman yang kehabisan stok, putus asa, hilang harapan. Maka sebelum gelap mata, larilah kepadaNya.

Abdul Rozak kembali (gisa) kepada Allah  dan membuka komunikasi denganNya dalam keadaan dia benar benar sudah habis tempat sandaran. Melayang di udara bersama 60 jiwa manusia dalam pesawat yang ada dalam tanggungannya pula. Segala upaya berdasarkan kapasitas, ilmu dan profesionalitas yang dimilikinya sudah habis dicurahkan. Dia hanya tinggal menunggu takdir. Tapi dia tidak gelap mata. Matanya terbuka melihat Rabb yang sedang menunggunya mendekat, mengadu dan meminta bantu.


Di lokasi banjir. Ada cerita seorang teman pengurus POKUSGAMPI (paguyuban pemuda Pidie) bekerja di proyek MBG Tamiang. Dia terjebak banjir. Naik ke atas atap rumah, dan tinggal disana selama tiga hari. Tanpa makanan dan minuman apapun. Di atap beberapa rumah tetangga juga ada sejumlah orang. Siang dan malam selama tiga hari. Dia mengaku tidak merasa lapar dan haus. Harapannya satu,” Allah lihatlah kami.” Allah menjawab harapannya dengan menurunkan rasa tenang dan anti lapar dan haus, bagaikan ada manna was salwa, makanan dan minuman dari syurga. 


Dia berpikir kiamat sudah tiba, sebentar lagi mereka semua akan mati. “Orang mati” – dalam spirit tasawuf -- tentu tak lagi memerlukan makanan dan minuman. Tak ada lagi nafsu. Makanan dan minuman mereka adalah amal dan kedekatan dengan Allah. 


Melewati hari ketiga, ketika air mulai surut dan genangan sudah jauh, sudah bisa dilalui. Orang orang mulai meninggalkan atap, turun mencari makanan. Dia pun mulai merasakan lapar dan haus yang bersangatan. Dia meyakini dirinya dan orang orang sekitar masih hidup. Rupanya Allah memasukkan kembali nafsu MBG yang selama tiga hari digenggamNya ke dalam jiwa pemuda ini dan lainnya. Dia lalu mau ikut turun mencari makanan. Ketika dia sudah merasa hidup dan menginginkan dia selamat dari bencana ini maka nafsu ingin makan sudah kembali menggelora. Allah bagaikan tersenyum melihat tingkah pemuda ini dan mempersilahkan dia dan orang disektarnya untuk turun makan minum.


Adalah juga kenyataan yang menggetarkan ketika kita melihat ada sekelompok ibu ibu di lokasi bencana meminta dibantu mukena di tengah segala harta mereka lenyap. Ibu dengan mukena yang lusuh berbercak lumpur dan bapak dengan pakaian sisa seadanya tetap khusyuk menjalankan ibadah shalat beralas tanah basah di halaman bekas rumah mereka yang berantakan. 


Ada ibu yang mengutamakan korban lain dengan menunjuk rumah sebelah yang membutuhkan baju kering sedangkan dia sendiri dalam balutan pakaian basah penuh lumpur, sambil dia menasehati pembawa bantuan “jangan bersedih ya”, padahal dia sendiri bersedih tak bisa menyembunyikan isak tangisnya.


Yakinlah ibu ibu dan bapak itu adalah modal kebangkitan kita dari bencana. Mereka bersama orang ikhlas korban lumpur bencana terpantau dan dimuliakan dari langit walau terlihat lusuh di bumi. Allah tidak menutup mataNya. Dia Maha Melihat dan Maha Menyayangi hambaNya. Allah Murka terhadap orang orang yang mencelakai mereka dan Dia akan menyulitkan orang orang yang mengabaikan mereka. Doa doa mereka maqbul di sisi Allah. Maka berserah dirilah, teruslah berupaya dan berdo’a.


Waalhu a’lam {10 Desember 2025} 

×
Berita Terbaru Update