-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Mengimbas Korban Dengan Khilafiyah Kebijakan Bencana Nasional

Senin, 08 Desember 2025 | Desember 08, 2025 WIB Last Updated 2025-12-08T10:18:32Z


Oleh Saifuddin A. Rasyid

(Bendahara ICMI Aceh, Imuemsyik Masjid Jamik Baitul Jannah Tungkop Aceh Besar)


Desakan penetapan bencana ekologis Sumatera yeng terimbas secara signifikan di tiga propinsi, Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, kuat. Tetapi pemerintah pusat mengelak. Tak melihat itu perlu. Alasannya terbaca bahwa penetapan bencana nasional itu potensial berdampak negatif bagi Indonesia. Ini bencana ekologi karena kerusakan hutan, bukan bencana puting beliung, gempa atau tsunami.


Menyedihkan atau menyakitkan ketika pejabat penanggulangan bencana yang ditunjuk bekerja di lapangan mengatakan bencana itu cuma berisik di medsos. Tidak ada daerah yang terkurung tak terjangkau. Terkesan bagi mereka ini bencana biasa dengan hanya sedikit korban jiwa. 


Ada juga korban yang terjebak banjir meminta bantuan tim SAR yang lewat, tetapi dicueki. Lebih dahsyat lagi ada kabar bupati yang bukan hanya melempar handuk menyerah membantu warga di tengah bencana, tetapi malah memilih pergi bertamasya ke Makkah.


Pemerintah ini aneh. Maksudnya oknum. Masa ada pejabat tinggi yang mengabaikan pandangan ahli bahwa membabat hutan (deforestasi) itu berdampak buruk bagi manusia. Dikatakannya sawit itu sama dengan hutan pohon lainnya. Kan ada daunnya. Ada akarnya. Ahli ilmu lingkungan menelan senyum mendengarnya.


Belum lagi ada tuduhan yang kita tentu tidak percaya, bahwa oknum pejabat (pusat dan daerah) berlomba naik ke gunung untuk membabat hutan dan mengeruk hasil tambang, kecuali kita menggali faktanya. 


Faktanya lumpur tebal yang menyasar pemukiman warga itu datang dari mana. Juga gelondongan kayu dari potongan rapi pohon batangan ikut hanyut menggasak pondasi jembatan, badan jalan, rumah rumah warga. Dikatakannya itu pohon pohon yang tercerabut dari akarnya karena banjir.


Fakta alamiyah ini berbicara sebaliknya. Orang tidak percaya pada mereka. Kita hilang kepercayaan kepada kepada pejabat pemerintah. Kehilangan harapan pada negara. Tak tampak negara serius dalam mengurusi warganya. Narasi dan retorika politik oknum pejabat seperti berjalan sendiri tak menyentuh bumi. Kasihan mereka di bawah yang bekerja atas nama negara tetapi di hati para korban itu tak seberapa harganya.


Solusi Warga Sipil


Sejalan dengan pandangan warga sipil lainnya Ikatan Cendekiawan Muslin se-Indonesia (CMI) Aceh mengeluarkan pernyataan sikap resmi mendesak agar pemerintah menetapkan bencara banjir sumatera sebagai bencana nasional. Sikap resmi ini juga dibacakan oleh Sekretaris ICMI Aceh, Prof Rajuddin, di forum silaturrahmi nasional (silaknas) ICMI di Denpasar Bali Sabtu 6 Desember 2025.


Sikap ini berdasarkan penilaian bahwa pemerintah daerah tak memiliki cukup kemampuan untuk mengelola langkah langkah pasca banjir. Sementara pemerintah pusat terkesan seperti acuh tak acuh. Sementara kondisi di lapangan kerusakannya sangat parah. Yaitu kerusakan infrastuktur, bangunan publik dan rumah warga. Mata pencarian hilang. Tekanan psikologis. Masa depan luluh lantak.


Dalam pandangan masyarakat sipil kerusakan pasca banjir sumatera ini lebih dahsyat dari tsunami 2004. Jumlah korban tsunami memang besar tetapi kerusakan terkonsenterasi di wilayah tertentu. Tetapi kerusakan bencana banjir ini merata. Diperkirakan tanpa dukungan besar dan massif pemerintah daerah dan masyarakat tak sanggup keluar dari keterpurukan bencana secara baik. 


Disisi lain dipandang ada kecenderungan pemerintah tak berani dan tentu bertahan untuk mengelak kebijakan bencana nasional. Karena begitu kebijakan ini dibuka maka akan terlihat borok dan bobrok pemerintah sendiri. 


Diskusi beberapa cendikiawan di ICMI Aceh pun menilai hal itu masuk akal. Pemerintah wajar tak akan berani melakukannya. Tetapi tugas kita di masyarakat sipil untuk menuntut dan mendesaknya. Karena kalau sikap melempem pemerintah dibiarkan maka borok dan bobrok itu akan semakin parah. Masyarakat sipil mesti kuat menghadapi sikap oknum pejabat pemerintah yang destruktif.


Do’a Tolak Bala Penjahat Lingkungan


Tak sedikitpun lentur pemahaman kita bahwa bencana banjir dan longsor seperti yang sedang kita alami adalah karena akumulasi kebijakan dan tindakan yang keliru dan penuh nafsu. Keliru dalam mengelola hutan dan lingkungan hidup. Pemahaman ini kuat berdasarkan kalkulasi ilmu. Juga kuat berdasarkan ajaran agama, Islam.


Allah sudah membangun alam ini dengan baik tapi manusia merusaknya, dan Allah dengan tegas tindakan merusak itu karena mempertahankan kebaikan dan atau kelestarian lebih baik untuk mendapat rahmat dan karunia kehidupan yang baik (QS Al-A’raf ayat 56). Ayat ini juga memerintahkan kita berdo’a dengan rasa takut dan pehuh harap. 


Maka apabila kita melihat orang orang sekeliling kita berbuat kerusakan – meskipun mereka mengaku dengan kerusakan itu mereka berbuat baik dengan alasan pembangunan misalnya (QS Al-Baqarah ayat 11). Padahal mereka sedang bermaksiat dengan merusak alam dan lingkungan hidup. Sementara kita dhaif, maka Al-A’raf 56 menyuruh kita berdoa dan berharap hanya kepada Allah.


Memang kita dhaif tetapi ada Allah Zat Yang Maha Kuat tempat kita mengadu dan meminta bantu. Adukan masalah kita kepadaNya. Sampaikan kepdaNya dalam sunyi bagaimana kejahatan oknum pejabat yang bekerja sama dengan penjahat untuk merusak alam tempat kita dan berbagai makhluk hidup tinggal, telah membuat kita menderita. Kebijakan dan tindakan mereka telah menzalimi kita, sementara mereka acuh dan abai. Bahkan sombong dan angkuh. Sampaikan kepada Allah dalam sabar.


Kita mohon kepadaNya kiranya Allah memudahkan kesadaran mereka untuk mengakui kekeliruan dan memperbaikinya kedepan. Memperbaiki kebijakan dan perundang undangan. Membatasii pergerakan perusahaan dan individu perusak alam. Kita memohon kebaikan kepada Allah untuk mereka.


Tetapi bila mereka congkak, tetap tamak, dan terus merusak, maka kita mohon kiranya Allah menurunkan keadilan untuk membela kaum yang teraniaya, yang terzalimi oleh kebuasan nafsu oknum pejabat dan penjahat lingkungan itu. Kiranya Allah menghukum mereka seberat beratnya. Kiranya Allah mengazab mereka dalam qudrah dan iradahNya.


Mewakili warga korban yang menderita kita minta bantuan para penggerak masyarakat, yang secara ikhlas telah membantu melalui donasi dan terus mendampingi menjadi teman mereka. Ajarkanlah mereka kekuatan doa. Doa orang yang teraniaya dan terzalimi mudah didengar Allah. Tanpa hijab. Minta Allah turunkan keadilan untuk membela hak hak kaum yang menderita karena ulah para perusak yang membabibuta. Minta kepada Allah agar para penjahat lingkungan yang tamak dan congkak dihancurkan Allah sehancur hancurnya. Terus lantunkan doa ini dalam senyap dan berjamaah.


Tidak Hadir Negara Bukan Merdeka


Tidak ada niat pemerintah untuk menggubris harapan penetapan kebijakan bencana nasional itu adalah indikator sederhana tidak hadirnya negara. Pergerakan cilet cilet beberapa pejabat pusat dan deru mesin yang bermain di area bencana hanya penting untuk mengimbangi kolaborasi kekuatan masyarakat sipil. Tidak perlu berharap terlalu banyak. Siapkan diri untuk hidup tanpa kehadiran negara.


Dalam suasana buruk, kita bukan menuntut merdeka. Yaitu merdeka dari kewajiban melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Bukan juga merdeka dari territori sebuah negara. Bukan merdeka dalam arti boleh segala galanya. Tetapi kita boleh hidup tanpa mengikuti kehendak pejabat yang korup, pemerintah yang zalim bila tidak menyayangi warga negaranya.


Umat islam diajarkan hanya wajib patuh dan taat kepada Allah dan RasulNya. Tidak wajib taat kepada manusia. Kecuali manusia itu taat dan patuh pada Allah dan rasulNya.

 

Masyarakat sipil adalah kaum yang merdeka. Kita berdiri setara dengan negara. Tidak ada keharusan kita menghormati siapa saja, kecuali mereka wajar dan patut untuk kita hormati.


Di tengah keputusasaan, bergeraklah mendekat kepada Allah. Inni zahibun ila Rabbi sa yahdin. Katakan saya terus bergerak mendekat kepada Tuhan saya, yaitu Dia yang memberi kekuatan dan jalan yang baik. Jangan melakukan hal yang tidak disukaiNya. Menghormati pejabat zalim dan perusak alam adalah hal yang dimurkai Allah.


Ketika permintaan kebijakan yang sesuai – seperti penetapan kebijakan bencana nasional – tidak digubris, maka hentikan segala perdebatan dengan berdoa. Hentikan khilafiyah dengan pihak yang sangat berbeda. Yaitu seperti perbedaan jauhnya langit dan bumi. Seperti perbedaan orang yang sedang menegakkan keadilan dan kemaslahatan dengan orang yang sedang merusaknya.


Kita sudah menyampaikan dan Allah yang akan

 menengahinya.

Wallahu a’lam


×
Berita Terbaru Update