Oleh Saifuddin A. Rasyid
Al-Rasyid.id - Seakan baru saja terjadi, padahal Prof Farid Wajdi Ibrahim, sudah berpulang lebih dari empat tahun lalu. Tepatnya Sabtu 14 Agustus 2021 sekira pukul dua siang, di Banda Aceh. Tapi spirit kehidupan yang beliau warisi tetap hidup dalam ingatan kita.
Prof Farid, demikian beliau dulu disapa, pernah jadi seorang tokoh terkemuka Aceh. Ketua Majelis Adat Aceh, Rektor terakhir IAIN Ar-Raniry dan lanjut periode berikutnya sebagai rektor pertama UIN Ar-Raniry yaitu saat lembaga pendidikan tinggi keagamaan itu mengubah nomenklatur dari institut ke universitas. Prof Farid juga pernah menjabat ketua ICMI Orwil Aceh.
Hal yang mudah diingat dari beliau adalah sikap tegas dan jelas keberpihakan dalam menyampaikan kebenaran. Orator pendakwah singa mimbar dengan suara lantang tak takut bersuara bila ada yang perlu dibela.
Tapi Prof Farid santun dan sopan ke lawan bicara. Penyayang keluarga dan cair dengan teman sebaya. Tokoh yang sangat egaliter dan memahami duduk perkara dalam berbagai kedudukannya di masyarakat.
Prof Farid tokoh pendidikan yang tak tahan untuk bicara kebudayaan, tema politik dan kesejahteraan menyangkut nasib dan keselamatan umat manusia.
Kepribadian dan kiprah Prof Farid direkam oleh teman-teman beliau dalam satu buku kumpulan tulisan bertajuk “Farid Wajdi Dalam Lensa”, terbit Oktober 2022.
Kamis 23 Oktober 2025 ini buku tersebut dibedah di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Banda Aceh. Bedah buku itu menampilkan Bustami Abubakar, salah satu editor buku, dan Silahuddin, sahabat dekat almarhum juga akademisi UIN Ar-Raniry.
Bustami mengisahkan yang juga sangat dekat dengan Prof Farid, sejak sebagai aktifis Pelajar Islam Indonesia (PII) di Aceh dan juga Al-Wasliyah di mana Prof Farid juga menjabat sebagai ketua Al-Wasliyah Aceh saat beliau berpulang.
Silahuddin yang juga tokoh PII Aceh, dan ketua ICMI Aceh Besar, mengingatkan kita dengan pesan Prof Farid, jangan berharap bibit dalam botol tumbuh bila belum ditanam. Orang Aceh tak hanya cukup berbibit bagus tapi harus diasah, dilatih, dididik.
Pesan beliau lainnya, kata Silahuddin, “bek bhuk lam teumalang bek sisat lam blang”, jangan sampai tenggelam dalam talam dan tersesat di tengah sawah. Kalimat bijak. Maksudnya jangan sampai kita tercelaka dengan hal hal kecil dan tak masuk akal.
Sadar Generasi
Bustami menceritakan sangat terkesan dengan ucapan Prof Farid dari ayat Al-Quran surat Al-Fath ayat 29 yang selalu beliau kutip saat berpidato dan berceramah.
Ayat ini menjelaskan mengenai ketegasan Rasulullah Muhammad SAW dan orang orang yang bersama Rasulullah dalam bersikap. Hati hati dengan kekuatan kebatilan yang dapat menekan kita.
Satu pesan sangat penting yang Prof Farid sampaikan kepada generasi muda adalah jaga diri, jangan lalai. Tantangan makin besar dan makin besar kedepan. Jangan sampai menjadi “lost generation” yaitu generasi yang kehilangan arah, tidak tahu mau kemana, tak dapat berbuat apa, tidak mampu bertanya kepada siapa. Inilah generasi yang akan mati dan punah di tengah kemajuan dan keterbukaan.
Prof Mujiburrahman, rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh, mengambil spirit Prof Farid untuk meneruskan pesan ini kepada generasi muda, khususnya mahasiswa, agar tidak menghabiskan waktu di warkop sampai jauh malam.
Kalau memang harus pergi ke warkop dengan tujuan untuk terus produktif belajar dan kebutuhan benikai positif lainnya, maka jangan sampai larut malam. Maksimum pukul sebelas malam, pulang tidur dan beristirahat. Demikian pesan Prof Mujib.
Memaknai spirit yang Prof Farid sendiri mengatakannya sebagai “bom waktu” bagi generasi umat diatas, Prof Mujib menekankan generasi muda yang tidak mengindahkan pesan ini, akan kehilangan kesempatan di masa depan. Termasuk sudah teridentifikasi sakit di bagian hati bagi banyak generasi muda yang berjaga sampai larut malam. Dunia industri dan berbagai institusi dunia kerja akan menolak merekrut calon karyawan yang teridentifikasi sakit. Sudah barang tentu perusahaan dan dunia kerja tidak mau menginvest pada karyawan yang nilai kesehatannya rendah.
Inspiratif, Terus Hidup
Prof Farid masih hidup, spiritnya. Ide idenya dan inspirasinya terus tumbuh ditengah kita. Inilah diantara pelajaran yang kita petik dari firman Allah bahwa orang yang meninggal di jalan Allah terus hidup dan Allah Yang menyediakan rezeki untuk mereka.
Prof Farid terus hidup di tengah keluarganya. Kepada Zia, putera beliau, dan anak dan menantu belia lannya, Prof Farid mewariskan banyak pelajaran. Diantaranya hidup harus dikejar dan diraih. Bukan ditunggu dengan merintih.
Pelajaran akan kemandirian. Tidak ada orang yang bersedia membantu kita seperti yang kita mau. Kita harus membangun dan mengelola kehidupan kita sendiri. Lakukan sendiri hal hal yang bisa, besar atau kecil sama.
Bagi kolega di organisasi dan masyarakat, Prof Farid adalah pemimpin yang mewarisi kepemimpinan. Beliau memimpin tidak untuk menggenggam, tetapi untuk menumbuhkan kader dan masa depan.
Ke depan kita berharap akan tumbuh tokoh tokoh, generasi Aceh khususnya, yang mampu menyerap spirit dan mewadahi inspirasi Prof Farid Wajdi. Untuk Aceh hebat dan bermartabat dalam ridha Ilahi.
Kita tunggu buku buku lainnya mengenai Prof Farid, dan kembali kita bedah. Yaitu untuk mendapat lebih pelajaran bagi generasi muda. Ayo terus berkarya.
Wallahu a’lam.
(Penulis salah seorang sahabat Prof Farid, Akademisi IP FAH UIN Ar-Raniry, Bendahara ICMI Orwil Aceh, dan Penasehat Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Aceh).

