-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Fasad Ekologi dan Tobat Hak Terabaikan

Minggu, 30 November 2025 | November 30, 2025 WIB Last Updated 2025-11-30T23:46:10Z

Oleh Saifuddin A. Rasyid

(Bendahara ICMI Aceh, Pegiat Moderasi Beragama UIN Ar-Raniry)


Teman teman aktifis Walhi hanya mau menyebut bencana terhadap banjir bandang yang sangat besar dan terdampak signifikan baru baru ini di tiga propinsi, Aceh, Sumut dan Sumbar. Walhi tidak mau menyebutnya musibah. Mereka hanya mau menyebutnya bencana ekologi.


Tak sulit dipahami sebenarnya. Bahwa terhadap banjir tahunan yang terjadi pada hampir setiap Desember atau Januari di beberapa kawasan langganan banjir, sebutlah misalnya Lhoksukon dan kawasan lainnya di Aceh Utara, sudah di prediksi dan siap siaga. Banyak warga sudah merombak ketinggian lantai rumah diatas batas maksimum rata rata banjir tahunan yang selalu terjadi. 


Tetapi apa yang terjadi pada banjir tahun ini yang puncaknya pada 25 November 2025 lalu, adalah di luar perkiraan. Air datang menyerang melampaui kesiapan warga. Ada yang mengatakan belum pernah terjadi sebesar ini sebelumnya. Kerugian dan dampak terhadap kehidupan selanjutnya pun sudah banyak diketahui besarnya. Ada pula kawasan yang baru pertama ini mengalami banjir besar.


Sebelas jembatan yang melintasi Krueng Peusangan misalnya tidak ada yang tersisa. Semua patah, runtuh, oleng, tergerus air. Yang sangat signifikan perannya, dua. Pertama, jembatan Teupin Mane di Juli Bireuen yang menghubungkah jalur nasional Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah, Blangkeujren dan seterusnya. Kedua, jembatan Tingkeum Kutablang di poros nasional Banda Aceh Medan. Tidak menyisakan satupun jembatan alternatif.


Rumah rumah terendam, sebagian hancur dan hanyut tergerus. Ratusan korban jiwa, syahid. Sampai hari keempat listrik dan akses komunikasi belum pulih, sehingga belum diketahui nasib warga yang terkurung. Ribuan kehilangan mata pencarian karena sawah ladang mereka rusak dan tertimbun lumpur dan berbagai merial, termasuk gelondongan kayu. Tentu dalam jumlah yang sangat besar pula terdampak secara psikologis.


*Musibah*


Tentu ini adalah musibah yang boleh berlangsung hanya atas kehendak Sang Maha Pencipta yang patut kita cermati dan bersabar atas segala kerugian yang ditimbulkannya. Kita dhaif, dan manusia yang paling cerdas adalah tidak berburuk sangka kepada Allah.


Ada mafhum hadis dari Nabi SAW, hadis riwayat Muslim Nomor 2999. Dalam hadis itu Nabi SAW menyatakan kagum (ta’jub) kepada kaum mukmin dimana ketika mendapat keberuntungan dan kesuksesan ia bersyukur. Bersyukur itu adalah kebaikan, yaitu yang berimplikasi baik baginya. Sebaliknya bila mendapat musibah, kerugian, dan kehilangan, maka ia bersabar. Bersabar itu kebaikan, yaitu yang juga berimplikasi baik baginya.


Dengan kata lain, baik bersyukur terhadap keadaan yang disukai atau bersabar terhadap keadaan yang tidak disukai, itu sama. Sama sama memberi kebaikan untuk kita. Para ulama bahkan menjelaskan bahwa pahala kesabaran dapat lebih besar oleh karena ikhlas atas keputusan Allah dan tidak berburuk sangka kepadaNya atas hal itu.


Allah menyebut dalam Surat Az-Zumar ayat 10 yang artinya, “Sesungguhnya hanya orang orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” Ini janji Allah bahwa bagi orang orang yang tertimpa musibah dan bersabar terhadap ujian hidup. Allah berikan pahala yang besar bahkan tanpa batas.


Ingat, pilihan cerdas bagi seorang mukmin bila mendapat ujian musibah adalah ikhlas dan memilih tetap baik bahkan semakin dekat kepada Allah. Seorang mukmin menyadari bahwa semua harta yang ada pada dirinya, bahkan dirinya sindiri, adalah milik Allah. Kemudian dia meyakini bahwa Allah sanggup mengganti segala yang rusak dan hilang dengan yang lebih baik, disamping memberinya pahala besar.


Tetaplah bersabar dan serahkan diri kepada Allah. Yakinlah bahwa Allah adalah Zat yang Maha Melihat, Maha mengetahui, Maha Pemberi. Ingat pula bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Pemalu. Yaitu Allah Malu bila menjauhi hambaNya yang mendekat, Malu mengabaikan hambaNya yang mengharap hanya kepaNya, Malu menyakiti bila tidak Memberi. 


Tetap bermanja manjalah kepadaNya meski di tengah kesulitan karena ini adalah ujian. Sampaikan hal hal yang ingin disampaikan kepadaNya dalam kesunyian. Tetaplah meminta, jangan mencerca. Ini musibah.


*Fasad Ekologi*


Kembali ke sikap teman teman Walhi. Mereka benar. Mereka geram, sepertinya. Karena musibah yang terjadi dan menimpa orang orang lemah yang tak berdaya, adalah tidak murni tiba tiba terjadi. Ia adalah akumulasi dari perbuatan dan kejahatan manusia. Lalu Allah menurunkan pasukannya. 


Pasukan Allah kali ini adalah Siklon Tropis Senyar yang menyerang diatas wilayah Aceh, Sumut dan Sumbar serta Riau sejak 22 November 2025. Yang berpotensi banjir besar dan kelongsoran. BMKG sudah mendeteksi dan menginforasikan sejak 21 November 2025. 

Sabtu 22 November 2025, hari itu kami pengurus ICMI seluruh Aceh bersilakwil di gedung kantor bupati Aceh Utara, di Landing Lhoksukon. Subuh saya di masjid Baitul Atiq Meunasah Geumata terus turun ziarah ke makam ibunda dan ayahanda kami di belakang kompleks mesjid itu. Hujan sudah turun sepanjang malam sampai hari Sabtu 22 November itu. 


Air sudah meninggi seroda mobil di jalan depan kantor bupati. Seraya memaknai peringatan BMKG saya bersama Ketua ICMI Aceh Dr Taqwaddin dan keluaga beliau seperti yang lainnya juga menempuh perjalanan hujan hujanan kembali ke Banda Aceh malam itu. 


Kembali ke narasi aktifis Walhi, yang hanya menyebut banjir ini adalah bencana ekologi sangat sejalan dengan peringatan Allah dalam beberapa ayat Al-Quran.


Ar-Rum ayat 41 menjelaskan, bahwa kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat (perbuatan) mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.


Al-A’raf ayat 56 menjelaskan, “dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…”


Al-Baqarah ayat 205 menjelaskan, “… dan apabila ia berpaling ia berjalan untuk membuat kerusakan di muka bumi, dan untuk merusak tanam tanaman dan keturunan, dann Allah tidak menyukai kerusakan.”


Ketiga ayat tersebut menegaskan bahwa; pertama, kerusakan (fasad) yang terjadi dipastikan karena ulah manusia. Kedua, Allah tidak menyukai kerusakan (fasad) itu terjadi, bahkan Allah membangun sistem (ekosistem) yang baik untuk manusia dan seluruh alam tapi dirusak oleh manusia.


Ketiga, atas kalkulasi dan akumulasi kejahatan (sekelompok) manusia Allah biarkan terjadi bencana yang tentu menimpa siapa saja, termasuk hamba hambaNya yang mukmin dan disayangi tetapi Allah menyediakan imbalan atas kesulitan mereka dengan kehendakNya. Tentu juga sebaliknya Allah menyediakan paket azab bagi para perusak, pelaku fasad. Karena Dia tidak suka kepada mereka (innallaha laa yuhibbul mufsidin).


Keempat, tindakan Allah membiarkan berlangsung bencana atas upaya yang digasak oleh sekelompok manusia bertujuan agar manusia sadar bahwa ada Allah yang berkuasa terhadap alam, ada aturan dalam interaksi manusia dan alam, dan bahwa manusia harus tunduk kepada Allah dan mengapresiasi ketentuan hukum (sunnatullah) yang terjadi terhadap hubungan ekologis manusia dan alam sekitar.


Kelima, Allah murka terhadap orang orang yang merusak tanaman (yaitu tumbuhan, pohon, hutan dan sebagainya), dan merusak keturunan, yaitu hak hak keturunan generasi masa depan manusia, juga masa depan keturunan berbagai makhluk hidup yang ada selain manusia.


Alam sekitar, lingkungan hidup, adalah rumah kita. Ia telah terbentuk sekian lama sebalum manusia diciptakan. Sebelum kita lahir rumah tempat kitahidup sudah Allah siapkan. Alam sekitar sudah ready menanti kedatangan manusia agar mereka dapat memanjakan diri di dalam lingkungan yang asri dengan mekanisme interaksi saling menguatkan yang sangat indah.


Endatu kita dulu sudah hidup berketurunan jumlahnya di alam tempat kita tinggal sekarang. Tetapi mereka semua aman. Mereka mempelajari bahasa alam, dan menghormatinya, mengikuti irama pergerakan air, udara dan cahaya, dengan segenap kesadaran dan mereka tidak merusaknya. Mereka melestarikan dan mewariskannya untuk kita. Lalu hari ini apa yang kita wariskan untuk generasi kita di masa depan?


Tobat


Saya ikut membaca cacatan kecil (Abucut) Adli Abdullah, ketika pada hari pasca banjir beliau menempuh perjalanan sulit pergi ke Bate Iliek Bireuen untuk melihat nasib bangunan asrama dayah Najmul Hidayah yang viral runtuh ke sungai. Catatan syahdu dengan judul “ketika sungai mengambil kembali yang pernah kita abaikan.” 


Abucut Adli berbicara mengenai standar. Bahwa di Krueng Bate Iliek itu ada tanggul yang dibangun pada tahun 2018, tetapi dinyatakan bermasalah. Kurang sesuai standar. Maka ketika air dengan kecepatan tinggi meluap, tanggul itu tak mampu menahan.


Di bagian lain musibah bencana ekologi ini kita lihat dalam air yang luar biasa besar menerjang itu banyak lumpur dan gelondongan kayu balok besar yang ikut masuk menerjang bantaran, pondasi jembatan, rumah rumah warga,bangunan publik. Bahkan menerjang tower PLN yang membuat rasa sakit dari musibah bencana ekologi ini menjadi makin sempurna. Warga terseok seok dalam genangan air, gelap, tanpa jaringan telepon. Makanan juga tak tersedia.


Sungguh miris. Terjangan air, lumpur dan gelondongan itu membuat kita terbelalak, dan bertanya tanya. Ada apa diatas sana. Adakah gunung sudah benar benar gundul tak lagi sanggup menangkap air? Adakah tanah di pergunungan langsung terjun bersama air menjadi lumpur lalu tumpah ke sungai yang meluap? Adakah gelondongan yang siap panen juga ikut terjun bebas meninggalkan tuan pemodalnya? Dan ikut menabrak longsor, menabrak jembatan, menabrak rumah rumah warga, sebelum rombongan gelondongan itu tersangkut nyasar berserak bukan di tempatnya?  


Itu semua gambaran akan ada hak hak yang terabaikan. Hak hak siapa? 


Yaitu hak Allah sebagai pencipta alam semesta dengan segala kesempurnaan yang diperuntukkan bagi manusia untuk hidup nyaman dalam beribadah kepadaNya. 


Ada hak generasi, yaitu masa depan manusia yang disiapkan untuk kelanggengan penyembahan manusia kepada Rabbnya.


Ada hak tetumbuhan, pohon dan hutan. Mereka hidup dan bertasbih kepada Allah atas kebesaranNya. Pohon dan hutan bukan benda mati. Mereka hidup dalam bimbingan dan karunia Allah.


Ada hak berbagai hewan, bakhluk hidup yang ada dan hidup atas kehendak Allah di alam. Dari makhluk sebesar gajah sampai sekecil bakteri bahkan makhluk halus semua punya hak hidup di hutan, di pergunungan, dan di sekitar kita. 


Ada hak udara bersih dengan segala komponennya yang disiapkan Allah bersama pepohonan dan hutan untuk bertugas mendukung kelangsungan hidup manusia, binatang dan tumbuhan serta makhluk hidup lainnya.


Ada hak air yang disiapkan Allah untuk membasahi dan menyegarkan kehidupan manusia, untuk bersuci, dan menyirami tumbuhan kebutuhan manusia dan makhluk Allah lainnya.


Seluruhnya itu adalah bagian dari hak kehidupan kita. Allah sengaja menciptakannya dan Dia merawatnya. Tetapi sekelompok manusia datang dan merusaknya. Tentu Allah marah dan murka.


Mari kita bertobat. Lalu siapa saja yang harus bertobat? Mari lihat diri kita.


Wallahu a’lam.

×
Berita Terbaru Update