-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Refleksi Hari Santri dan Memaknai Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari

Kamis, 13 November 2025 | November 13, 2025 WIB Last Updated 2025-11-14T04:58:55Z

 


Al-Rasyid.id | Maroko (24 Oktober 2025) - Setiap tahunnya, sebagai seorang santri yang kerap berjibaku dengan kegiatan-kegiatan kesantrian, saya bersama sejumlah teman rutin mengadakan forum diskusi bertemakan Hari Santri. Pembahasannya tidak jauh dari bagaimana memaknai peran kita sebagai santri, peranan pesantren sebagai tempat pe-santri-an untuk menumbuhkan karakter, serta bagaimana mengimplementasikan dawuh “Resolusi Jihad” KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 di masa kini.

 

Saya, yang sejak SMA sudah gemar mengikuti dinamika perpolitikan tanah air hingga global, selalu meyakini bahwa peringatan Hari Santri merupakan kebijakan yang diambil secara politis oleh Presiden Joko Widodo. Namun seiring waktu, saya justru melihat bahwa politisasi itu tidak serta-merta mengurangi nilai spiritual dan historis yang dikandungnya. Justru, penetapan Hari Santri menjadi pengingat nasional bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya diraih dengan senjata dan diplomasi, tetapi juga dengan doa, ilmu, dan keberanian para santri yang turun ke medan laga atas panggilan iman dan cinta tanah air.

 

“Resolusi Jihad” yang dikumandangkan KH. Hasyim Asy’ari bukan sekadar seruan perang, melainkan panggilan moral untuk menjaga martabat bangsa dan menolak penjajahan dalam segala bentuknya. Dalam konteks hari ini, jihad tidak lagi berarti mengangkat senjata, tetapi memperjuangkan kemerdekaan dari kebodohan, kemiskinan, korupsi, dan disinformasi. Bagi santri masa kini, jihad berarti berjuang di ruang-ruang ilmu, teknologi, sosial, dan budaya untuk membawa kemaslahatan bagi umat dan bangsa.

 

Peran Santri dalam Sistem Monarki Maroko

 

Dalam konteks keagamaan dan sosial di Maroko, saya melihat bagaimana seorang santri memiliki peran penting dalam menopang sistem kerajaan. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai penafsir ajaran agama, tetapi juga sebagai pemberi legitimasi religius terhadap kekuasaan monarki melalui konsep wilāyat al-amr dalam kerangka mazhab Maliki dan tradisi Sufi yang menjadi arus utama di negeri ini. Dewan Ulama Tinggi (High Council of Ulema) yang anggotanya diangkat oleh Raja berwenang mengeluarkan fatwa yang harus disetujui Raja sebelum diberlakukan, menjadikan lembaga ulama bagian dari struktur hukum dan keagamaan resmi negara.

 

Di sisi lain, pemerintah monarki Maroko juga mengintegrasikan ulama dalam sistem tata kelola agama dan sosial. Melalui pengawasan terhadap pelatihan imam, pengelolaan wakaf (habous), serta regulasi khutbah di masjid, para ulama ditempatkan sebagai bagian dari jaringan negara untuk menjaga stabilitas ideologis dan politik. Peran mereka tidak hanya menjaga ortodoksi ajaran Islam, tetapi juga menjadi jembatan antara agama dan negara, memastikan harmoni sosial serta kesinambungan antara spiritualitas rakyat dan legitimasi kerajaan.

 

Maka, memperingati Hari Santri bagi saya bukanlah sekadar mengenang sejarah, melainkan memperbarui tekad untuk melanjutkan semangat perjuangan para ulama dan santri dalam konteks kekinian. Di tanah rantau seperti Maroko ini, refleksi tersebut menjadi pengingat bahwa di mana pun kita berada, nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan pengabdian ala santri harus tetap menjadi kompas hidup kita, sebagaimana ulama dan santri dahulu berjuang menjaga martabat bangsa, hari ini kita pun berjuang menjaga nilai dan ilmu di tengah perubahan zaman. []

×
Berita Terbaru Update